Dominasi China atas Logam Tanah Jarang Jadi Senjata Strategis dalam Perang Dagang dengan AS

China memiliki keunggulan strategis dalam perang dagang melawan Amerika Serikat (AS) melalui penguasaannya atas pasokan logam tanah jarang (rare earths). Mineral ini menjadi komponen kritis dalam berbagai industri teknologi tinggi, mulai dari elektronik hingga pertahanan. Presiden Xi Jinping telah lama menyadari nilai strategis logam tanah jarang, yang diperkuat dengan kunjungannya ke fasilitas produksi di Ganzhou pada 2019. Saat itu, Xi menegaskan bahwa logam tanah jarang merupakan sumber daya vital bagi perkembangan industri nasional.

Logam tanah jarang terdiri dari 17 elemen mineral yang sulit diekstraksi dan diproses. Meskipun tersedia di berbagai negara, China mendominasi pasar global dengan kontribusi 61% produksi dan 92% pemurnian. Ketergantungan AS pada pasokan China mencapai 70% dalam periode 2020-2023, menjadikannya rentan terhadap kebijakan ekspor Beijing. Baru-baru ini, China memberlakukan pembatasan ekspor tujuh jenis logam tanah jarang sebagai respons atas tarif impor AS yang meningkat.

  • Dampak pada Industri AS: Pembatasan ini berpotensi mengganggu pasokan bahan baku untuk industri teknologi dan pertahanan AS, termasuk produksi jet tempur F-35 dan kendaraan listrik.
  • Upaya Diversifikasi AS: Beberapa perusahaan AS berusaha membangun rantai pasokan alternatif, tetapi proses ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai skala yang memadai.

Ekonom Justin Wolfers dari Universitas Michigan menyatakan bahwa langkah China ini merupakan pukulan telak bagi industri AS, mengingat logam tanah jarang menjadi tulang punggung berbagai teknologi mutakhir. Sementara itu, ketergantungan global pada China memperlihatkan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi AS dalam mengurangi dominasi Beijing di sektor ini.