Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan terhadap Sistem Perdagangan Multilateral

Kebijakan tarif timbal balik yang digulirkan pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump kembali memicu perdebatan mengenai masa depan sistem perdagangan global. Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati menyoroti kompleksitas dampak kebijakan tersebut dalam forum Sarasehan Ekonomi di Jakarta, menekankan bahwa pendekatan AS ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Terdapat tiga persoalan mendasar dalam kebijakan tarif Trump:

  1. Kontradiksi dengan prinsip WTO: Kebijakan Fair and Reciprocal Plan (FRP) tidak mengacu pada mekanisme resmi WTO dalam menetapkan tarif, melainkan bersifat sepihak.
  2. Masalah konsep resiprositas: Pemahaman Trump tentang timbal balik dalam perdagangan dinilai bertentangan dengan praktik internasional yang selama ini berlaku.
  3. Dampak sistemik: Kebijakan ini berpotensi memicu reaksi berantai berupa tindakan proteksionisme dari berbagai negara.

WTO sebagai pilar perdagangan global dibangun atas dasar prinsip non-diskriminasi melalui klausul Nation Most Favored (NMF). Sistem ini memastikan stabilitas dengan mengikat tingkat tarif maksimum yang disepakati dalam Putaran Uruguay (1986-1994). Namun, kebijakan Trump dinilai mengancam konsensus ini dengan:

  • Menerapkan tarif diferensial berdasarkan negara
  • Mengabaikan kompensasi yang diatur dalam Pasal XXVIII GATT
  • Menciptakan preseden bagi negara lain untuk bertindak unilateral

Sejarah menunjukkan bahwa pendekatan resiprokal semacam ini pernah muncul era Reagan dengan fokus pada Jepang, sebelum akhirnya mereda setelah Perjanjian Plaza 1985. Namun, situasi kini berbeda dengan:

  • Keseimbangan kekuatan ekonomi global yang berubah
  • Meningkatnya peran Tiongkok dalam perdagangan dunia
  • Fragmentasi kebijakan di antara kekuatan ekonomi utama

Tantangan terbesar bagi WTO adalah menjaga relevansinya di tengah perubahan geopolitik dan ekonomi global. Tanpa konsensus di antara kekuatan utama seperti AS, Uni Eropa, dan Tiongkok, masa depan sistem perdagangan multilateral berada dalam ketidakpastian.