Aulyafillah: Di Usia Muda Menjadi Tulang Punggung Keluarga di Tengah Krisis Ekonomi
Di tengah gejolak ekonomi yang melanda Indonesia, kisah Aulyafillah, seorang mahasiswi berusia 22 tahun, menjadi cermin perjuangan kaum muda dalam menghadapi kerasnya hidup. Aul, sapaan akrabnya, harus memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga demi menghidupi ibu, nenek, dan kedua adiknya setelah sang ayah berpulang pada tahun 2023.
Berasal dari sebuah desa di Mojokerto, Aul memberanikan diri merantau ke Surabaya untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Namun, di balik statusnya sebagai mahasiswi, ia juga harus berjuang mencari nafkah. Dengan berbagai pekerjaan sampingan, Aul berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kenaikan harga bahan pokok yang tak terkendali semakin memperberat bebannya.
"Dulu, telur setengah kilo bisa dapat 10 atau 12 butir dengan harga Rp 16.000 sampai Rp 18.000, sekarang cuma dapat 6-8 butir. Beras 5 kilogram yang dulu Rp 70.000, sekarang bisa sampai Rp 100.000 lebih," keluhnya.
Kesulitan tak hanya berhenti pada harga bahan pokok. Aul juga merasakan betapa sulitnya mendapatkan gas elpiji 3 kilogram. Kalaupun ada, harganya sudah melambung tinggi di tangan pengecer atau calo.
Sebagai anak pertama, Aul harus memutar otak untuk mengatur keuangan keluarga. Setiap bulan, ia harus mengalokasikan sekitar Rp 2,5 juta untuk kebutuhan keluarga di Mojokerto dan Rp 2 juta untuk kebutuhan pribadinya di Surabaya, termasuk biaya kos, bensin, dan bahan makanan.
"Sekarang semua barang, terutama sembako, naik, itu yang semakin mencekik banget karena banyak habis untuk kebutuhan bertahan hidup," ujarnya.
Kondisi ekonomi yang sulit memaksa Aul untuk mengubah gaya hidupnya. Ia harus rela melepaskan kesenangan-kesenangan seperti berbelanja, nongkrong di kafe, membeli makanan cepat saji, dan berbelanja online. Bahkan, ia juga memangkas anggaran untuk perawatan diri.
"Kemarin lebaran saja keluargaku enggak beli baju baru sama sekali, sudah enggak kuat. Sekarang lebih memprioritaskan kebutuhan yang kalau aku enggak beli bakal mati atau sakit," tuturnya.
Kisah yang paling memilukan adalah ketika Aul mendengar kabar bahwa keluarganya tidak bisa membeli beras atau gas elpiji untuk berbuka puasa saat Ramadhan. Mereka hanya bisa mengandalkan makanan dari masjid terdekat dan bantuan sembako dari kepala desa.
"Waktu itu ibuku cerita ke aku 'gak isok tumbas beras, mek isok tumbas air minum' (tidak bisa beli beras, hanya bisa beli air minum)," ujarnya dengan nada sedih.
Selain itu, adik Aul yang akan segera masuk perguruan tinggi juga terancam tidak bisa mendapatkan beasiswa KIPK karena adanya isu efisiensi anggaran dan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
"Makanya secara adekku sudah ku educate kalau kamu sepertinya enggak bisa mengharapkan KIPK lagi, karena aku baca-baca di Twitter juga banyak teman-teman KIPK yang beasiswanya enggak cair. Jadi mungkin bisa diusahakan lewat jalur beasiswa hafal Al Quran atau lainnya, cuma sangat disayangkan saja," tuturnya.
Aul merasa bahwa kondisi ekonomi saat ini sangat tidak masuk akal. Harga kebutuhan pokok terus meroket, sementara pendapatan masyarakat stagnan. Hal ini memaksa masyarakat untuk terus bekerja keras hanya demi bertahan hidup, tanpa bisa menikmati hidup yang layak.
"Kita jadinya hanya berfokus untuk cari kerja saja seakan kita 'diperbudak', jadinya enggak bisa enjoy hidup, hanya mencari cara bagaimana untuk bertahan hidup dan itu sangat menyedihkan," tuturnya.
Kisah Aul adalah potret perjuangan banyak anak muda di Indonesia yang harus menghadapi kerasnya hidup di tengah krisis ekonomi. Meskipun berat, Aul tetap bertekad untuk terus berjuang demi keluarga dan masa depannya. Ia berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih kepada masyarakat kecil dan menciptakan kebijakan ekonomi yang lebih adil dan merata.