Kebijakan Tarif Trump Picu Kajian Ulang Teori Perdagangan Internasional
Gelombang reaksi terhadap penerapan tarif timbal balik oleh mantan Presiden AS Donald Trump terhadap lebih dari 60 negara telah mendorong para akademisi dan mahasiswa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis untuk kembali mempelajari teori perdagangan internasional dalam ilmu makroekonomi. Meskipun banyak pengamat ekonomi berpendapat bahwa kebijakan Trump lebih didorong oleh motif politik daripada logika ekonomi dan oleh karena itu tidak dapat dijelaskan melalui teori ekonomi konvensional, meninjau kembali prinsip-prinsip dasar makroekonomi tetaplah relevan.
Salah satu sumber referensi yang berguna adalah buku teks berjudul Macroeconomics edisi pertama tahun 2015, karya Daron Acemoglu, David Laibson, dan John A. List. Daron Acemoglu sendiri adalah penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2024 bersama Simon Johnson dan James Robinson. Menurut Acemoglu dan rekan-rekannya, perdagangan internasional antara dua negara terjadi karena adanya perbedaan dalam keunggulan komparatif. Seorang produsen memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi barang atau jasa jika memiliki biaya oportunitas per unit yang lebih rendah dibandingkan produsen lain.
Untuk mengilustrasikan konsep ini, pertimbangkan dua negara, A dan B. Pekerja di negara A memiliki produktivitas dalam perakitan ponsel sebesar 10.000 unit per tahun dan dalam penelitian dan pengembangan (R&D) sebesar 5 inovasi per tahun. Sementara itu, pekerja di negara B memiliki produktivitas perakitan ponsel sebesar 2.000 unit per tahun dan R&D sebesar 2 inovasi per tahun.
Biaya oportunitas R&D negara A adalah 2.000 ponsel per tahun (10.000 : 5 = 2.000), sedangkan biaya oportunitas R&D negara B adalah 1.000 ponsel per tahun (2.000 : 2 = 1.000). Ini berarti bahwa jika negara A fokus pada R&D daripada perakitan, ia akan "mengorbankan" perakitan sebanyak 2.000 ponsel per tahun. Sementara itu, negara B akan "mengorbankan" 1.000 ponsel per tahun. Jika dilihat dari biaya oportunitas perakitan, biaya oportunitas negara A adalah 1/2.000 (5 : 10.000 = 1/2.000), sedangkan negara B adalah 1/1.000 (2 : 2.000 = 1/1.000).
Oleh karena itu, jika kedua negara setuju untuk melakukan perdagangan internasional, negara A akan fokus pada perakitan, dan negara B pada R&D, karena biaya oportunitas perakitan negara A lebih efisien daripada negara B. Demikian pula, biaya R&D negara B lebih efisien daripada negara A. Penjelasan ini memberikan gambaran mengapa dua negara setuju untuk melakukan perdagangan internasional, karena kedua negara yang terlibat fokus pada keunggulan komparatif masing-masing.
Contohnya, iPod, produk dari Apple, memiliki beberapa komponen utama, seperti hard drive untuk menyimpan lagu, video, dan foto, yang diproduksi di Jepang, dan kartu memori yang diproduksi di Korea Selatan. Sementara itu, central processing unit (CPU) masih diproduksi di AS. Semua komponen ini kemudian dirakit menjadi produk akhir di China. Studi oleh Linden, Kraemer, dan Dedrick (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar dari harga eceran sebuah iPod pada akhirnya diterima oleh penduduk AS. Untuk iPod yang dijual di AS melalui pengecer selain Apple, 41 persen dari nilai tambah dihasilkan oleh perusahaan AS selain Apple, termasuk distributor, pengecer, dan produsen komponen dengan fasilitas produksi domestik. Sekitar 45 persen lainnya dari nilai tambah ini mengalir ke Apple, perusahaan yang merancang iPod dan memegang hak kekayaan intelektual.
Nilai tambah ini lebih dari sekadar laba korporasi, karena Apple memiliki sejumlah besar tim insinyur, perancang, dan pejabat eksekutif yang gajinya dibayarkan dari pendapatan Apple. Contoh ini menggambarkan bahwa perdagangan internasional memberikan kontribusi dalam bentuk nilai tambah di AS dan juga harga jual yang terjangkau bagi konsumen AS. Karena industri elektronik merupakan platform yang luas dan terbuka, seperangkat teknologi pelengkap yang umum tersedia bagi semua perusahaan, perusahaan-perusahaan terkemuka harus menemukan cara untuk memperoleh keuntungan melalui strategi seperti pencitraan merek, pemasaran, desain industri, pengembangan produk yang cepat, model bisnis, atau strategi saluran. Pemasok komponen harus menemukan cara-cara unik untuk meningkatkan prospek perolehan nilai pelanggan mereka melalui cara-cara seperti fungsi baru, biaya yang lebih rendah, atau waktu pemasaran yang lebih singkat.
Sementara hanya beberapa perusahaan dalam rantai pasokan yang dapat memperoleh laba supernormal, banyak yang dapat memperoleh margin normal. Ekosistem elektronik secara keseluruhan menghasilkan laba yang cukup untuk mendukung inovasi cepat yang berkelanjutan selama beberapa dekade. Bagi sebagian pengamat, kenyataan bahwa nilai impor AS dari China lebih besar daripada ekspornya merupakan pertanda buruk. Akan tetapi, tidak ada alasan untuk berharap bahwa ekspor AS ke China harus sama dengan impor AS dari China. Seperti halnya tidak ada alasan untuk berharap belanja Anda dari suatu toko sembako sama dengan belanja pemilik toko sembako tersebut ke Anda.
Seperti itulah pasar dan perdagangan bekerja. Kita tidak perlu menjual barang dan jasa ke pihak yang sama yang menjual barang dan jasa ke kita. Tidak ada salahnya AS tidak banyak menjual ke China dan membeli banyak dari China. Masih ada negara-negara lain, seperti Brasil yang menjadi target pasar penjualan produk AS dan AS hanya mengimpor sedikit dari Brasil.
Hal ini memberikan suatu kesimpulan bahwa perdagangan antara dua negara spesifik, jarang sekali seimbang. Ini bukan berarti tidak ada masalah apa pun dalam hubungan perdagangan AS-China, tetapi pernyataan ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan perdagangan bilateral tidak serta merta menjadi suatu hal yang buruk. Uraian ini makin menegaskan bahwa pengenaan tarif resiprokal karena defisit perdagangan AS yang bengkak dengan banyak negara mitra, tidak dapat ditemukan pembenarannya di dalam teori perdagangan internasional. Yang ada adalah pemaksaan kehendak yang mengarah pada bangkitnya imperialisme berwajah pengenaan tarif resiprokal.