Polemik Penertiban Juru Parkir Ilegal di Tanah Abang: Antara Ketegasan dan Kesejahteraan

markdown Pasar Tanah Abang, pusat perbelanjaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, kembali menjadi sorotan. Kali ini, bukan tentang dinamika perdagangan atau tren fashion terbaru, melainkan tentang keberadaan juru parkir (jukir) liar yang meresahkan. Di tengah upaya revitalisasi dan penataan kawasan, penertiban jukir ilegal menjadi isu krusial yang membutuhkan penanganan bijaksana.

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah, menyoroti dilema yang dihadapi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam menertibkan jukir liar di Tanah Abang. Menurutnya, penertiban yang dilakukan secara represif justru dapat memicu konflik baru dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi di kawasan tersebut. Trubus berpendapat, penertiban jukir liar seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan adaptif terhadap kondisi ekonomi saat ini.

"Yang dipikirkan bukan masalah juru parkir dulu, yang dipikirkan itu bagaimana supaya Pasar Tanah Abang itu hidup, bermanfaat banyak masyarakat banyak lagi. Artinya, menjadi sumber nafkah orang," ujarnya.

Trubus menekankan bahwa penertiban yang terlalu keras dapat berdampak negatif pada kenyamanan pedagang atau penyewa toko di dalam pasar, yang memiliki peranan penting dalam menopang pemasukan daerah. Ia mengingatkan bahwa dalam situasi pasar yang sepi dan ekonomi yang sulit, penindakan tegas justru bisa memperburuk keadaan sosial atau mengganggu penghidupan orang-orang kecil.

Namun, Trubus juga menegaskan bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak bisa bersikap permisif terhadap praktik parkir liar. Ia menyarankan agar penegakan hukum progresif diperlukan dalam penertiban jukir liar di tengah-tengah kondisi Pasar Tanah Abang yang tidak menentu. Ia menekankan, pendekatan yang digunakan perlu bersifat bertahap dan manusiawi, bukan pembiaran total.

Sebagai salah satu solusi, Trubus mengusulkan agar jukir liar tidak langsung diberangus, tetapi difasilitasi melalui skema pemberdayaan, misalnya dengan dipekerjakan sebagai petugas parkir resmi. Usulan ini sejalan dengan upaya Pemprov DKI Jakarta untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kasus Viral dan Tindakan Kepolisian

Isu jukir liar di Tanah Abang kembali mencuat setelah viralnya pengalaman seorang warga Jakarta Utara bernama Tata Julia Permana yang ditarik tarif parkir tidak wajar saat mengunjungi Pasar Tanah Abang. Tata, yang baru pertama kali mengunjungi pasar tersebut, mengikuti arahan seorang pria yang ternyata adalah jukir liar. Kejadian ini memicu reaksi dari kepolisian yang kemudian menangkap empat jukir liar dan satu penguasa lahan di Pasar Tanah Abang.

Namun, karena korban tidak membuat laporan polisi, para pelaku diserahkan kepada Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat sebagai pihak yang berwenang. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan jukir liar tidak hanya menjadi tugas kepolisian, tetapi juga membutuhkan keterlibatan instansi lain yang berfokus pada kesejahteraan sosial dan pemberdayaan masyarakat.

Menuju Solusi yang Berkelanjutan

Penertiban jukir liar di Tanah Abang adalah persoalan kompleks yang membutuhkan solusi yang berkelanjutan. Pendekatan represif mungkin dapat memberikan efek jera sementara, tetapi tidak menyelesaikan akar masalahnya. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemprov DKI Jakarta, kepolisian, Suku Dinas Sosial, pengelola pasar, pedagang, dan tentu saja, para jukir liar itu sendiri.

Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah dengan menyediakan lahan parkir yang memadai dan dikelola secara profesional. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga dapat memberikan pelatihan dan pendampingan kepada para jukir liar agar mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja di sektor formal. Dengan demikian, penertiban jukir liar tidak hanya bertujuan untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman bagi semua pihak.