Perjuangan Aulyafillah di Tengah Krisis Ekonomi: Strategi Bertahan Hidup untuk Keluarga
Di tengah gejolak ekonomi yang semakin menantang, Aulyafillah, seorang wanita muda berusia 22 tahun asal Mojokerto, Jawa Timur, harus memutar otak untuk menghidupi keluarganya. Sebagai tulang punggung keluarga dengan empat anggota, Aul merasakan langsung dampak dari krisis ekonomi yang melanda.
Kenaikan harga bahan pokok menjadi momok yang menakutkan. Aul mengeluhkan bagaimana harga beras, telur, ayam, dan kebutuhan dasar lainnya melonjak tajam sejak awal tahun 2025. Harga telur, yang dulu bisa mendapatkan 10 hingga 12 butir dengan Rp 16.000 sampai Rp 18.000 per setengah kilogram, kini hanya mendapatkan 6 hingga 8 butir saja. Harga beras juga meroket, dari Rp 70.000 menjadi lebih dari Rp 100.000 untuk lima kilogram.
Selain harga bahan pokok, Aul juga kesulitan mendapatkan gas elpiji 3 kilogram. Kalaupun ada, harganya sudah dinaikkan oleh pengecer atau calo hingga Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Hal ini tentu memberatkan Aul dan keluarganya, terutama ibunya yang harus berkeliling mencari gas dengan harga terjangkau, yang juga membutuhkan biaya tambahan untuk bensin.
Dengan status sebagai lulusan perguruan tinggi dan bekerja tetap, pendapatan Aul terbilang pas-pasan. Sejak ayahnya meninggal dunia pada tahun 2023 dan ibunya tidak bekerja, Aul menjadi satu-satunya pencari nafkah. Setiap bulan, ia harus mengirimkan sekitar Rp 2,5 juta untuk kebutuhan keluarga di Mojokerto, termasuk biaya sekolah kedua adiknya, biaya listrik, bensin, dan kebutuhan makan sehari-hari.
Di sisi lain, Aul juga harus memenuhi kebutuhan pribadinya sebagai perantau di Surabaya. Biaya kos, bensin, dan sembako menghabiskan sekitar Rp 2 juta per bulan. Kenaikan harga barang, terutama sembako, semakin mencekik keuangannya. Aul merasa sebagian besar pengeluarannya habis hanya untuk bertahan hidup.
Menghadapi situasi yang sulit ini, Aul menerapkan beberapa strategi agar tetap bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Berikut adalah strategi yang dilakukan Aul:
- Meminimalisir kebutuhan tersier. Aul mengurangi kegiatan yang tidak terlalu penting, seperti nongkrong di kafe, jalan-jalan ke mal, belanja online, atau membeli makanan cepat saji.
- Memprioritaskan kebutuhan dasar. Aul lebih fokus pada kebutuhan pokok sehari-hari. Bahkan, keluarganya tidak membeli baju baru saat Lebaran karena keterbatasan biaya.
- Bekerja dengan pola hustle life. Aul tidak hanya mengandalkan pekerjaan utama, tetapi juga mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan.
Aul berpendapat bahwa kondisi ekonomi saat ini tidak masuk akal. Harga kebutuhan pokok terus meningkat, sementara pendapatan masyarakat tidak mengalami perubahan signifikan. Hal ini memaksa masyarakat untuk terus bekerja keras hanya untuk bertahan hidup, tanpa bisa menikmati hidup atau mengembangkan potensi diri. Aul merasa seperti "diperbudak" oleh keadaan, hanya fokus mencari uang untuk bertahan hidup, tanpa bisa menikmati hidup yang layak.