Tarif Impor AS Ancam Pembiayaan Industri dalam Negeri: OJK Serukan Mitigasi Risiko

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperingatkan bahwa kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) berpotensi memberikan tekanan signifikan pada kinerja ekspor industri di Indonesia. Dampak ini dikhawatirkan akan merambat ke lembaga pembiayaan dalam negeri yang selama ini menjadi tulang punggung pendanaan sektor-sektor terdampak.

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, mengungkapkan bahwa sektor-sektor industri yang berorientasi ekspor ke AS, seperti:

  • Tekstil
  • Karet
  • Peralatan listrik
  • Makanan
  • Perikanan

berpotensi mengalami penurunan kinerja ekspor akibat kebijakan tarif tersebut.

"Kebijakan tarif AS berpotensi menekan kinerja industri yang berorientasi ekspor, khususnya pada sektor-sektor yang telah disebutkan," ujar Agusman.

Dampak yang lebih luas, menurut Agusman, adalah potensi peningkatan risiko pembiayaan bagi lembaga pembiayaan PVML yang selama ini mendukung sektor-sektor tersebut. Penurunan kinerja ekspor dapat menyebabkan kesulitan bagi perusahaan-perusahaan dalam membayar kewajiban pinjaman mereka.

Menyadari potensi risiko ini, OJK mengimbau pelaku industri untuk segera melakukan mitigasi risiko secara komprehensif. Agusman menekankan pentingnya beberapa langkah strategis, antara lain:

  • Penilaian Risiko Efektif: Pelaku industri harus mampu mengidentifikasi dan mengevaluasi potensi risiko yang mungkin timbul akibat kebijakan tarif AS.
  • Diversifikasi Portofolio Pembiayaan: Lembaga pembiayaan disarankan untuk tidak terlalu bergantung pada satu sektor industri tertentu. Diversifikasi portofolio pembiayaan dapat membantu mengurangi risiko jika salah satu sektor mengalami masalah.
  • Penguatan Likuiditas: Perusahaan perlu menjaga likuiditas yang sehat untuk menghadapi kemungkinan penurunan pendapatan akibat penurunan ekspor.

Sebelumnya, pemerintahan AS mengumumkan penerapan tarif impor yang tinggi terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri menghadapi tarif sebesar 32%. Meskipun sempat ditunda selama 90 hari setelah pengumuman awal, kebijakan tarif tetap menjadi ancaman bagi perdagangan Indonesia.

Sebagai respons, pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi dengan AS untuk mencari solusi terbaik. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan menawarkan peningkatan impor barang-barang dari AS, termasuk komoditas minyak dan gas serta produk pertanian seperti kapas dan kedelai, dengan harapan dapat menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara.