Menemukan Kedamaian: Eksodus dari Hiruk Pikuk X Demi Kesehatan Mental

Era digital menawarkan kemudahan konektivitas, namun juga membawa tantangan tersendiri, terutama dalam hal kesehatan mental. Platform X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, dengan segala dinamika dan riuhnya, menjadi alasan bagi sebagian orang untuk mencari ketenangan di luar dunia maya.

Fenomena ini salah satunya dialami oleh Ferry Irwandi, seorang konten kreator dan pendiri Malaka Project. Ia memutuskan untuk mengakhiri eksistensinya di X, sebuah keputusan yang membawanya pada kehidupan yang lebih damai dan produktif. Irwandi, yang sebelumnya dikenal sebagai sosok yang kritis terhadap berbagai isu sosial dan politik, termasuk kebijakan anggaran dan revisi Undang-Undang TNI, kerap menjadi sasaran serangan verbal di platform tersebut. Merasa terganggu dengan atmosfer yang ada, ia memilih untuk menutup akunnya dan membagikan pengalamannya dalam sebuah video berjudul 'Saya Baik-baik Saja' di platform Youtube. Dalam video tersebut, ia mengungkapkan bahwa keputusan ini awalnya merupakan bagian dari strategi dalam mengkritisi revisi UU TNI, namun pada akhirnya, ia menyadari bahwa hidup tanpa X jauh lebih menyenangkan dan menenangkan.

"Awalnya bagian dari rencana, eh ternyata kok ya enak, hahaha. Pantes kok semua orang yang berhenti main twitter selalu bilang hidupnya jauh lebih senang dan tenang, ternyata memang enak beneran hahahaha," tulis Ferry dalam unggahannya di Instagram, 13 April 2025.

Irwandi menegaskan bahwa dirinya tidak akan kembali ke X dan meminta maaf kepada pihak-pihak yang mengharapkannya untuk aktif kembali. Baginya, ini adalah keputusan terbaik yang pernah diambil, yang berdampak positif pada berbagai aspek kehidupannya, mulai dari pikiran, kesehatan, energi, waktu, produktivitas, hingga pekerjaan. Ia menyadari bahwa meskipun X menawarkan kesenangan tersendiri, kehidupan di luar platform tersebut jauh lebih berharga dan memberikan ketenangan yang lebih besar.

Fenomena ini mendapat perhatian dari pakar komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan. Ia menjelaskan bahwa tren meninggalkan X merupakan konsekuensi dari perkembangan media sosial sebagai perangkat pengawas. Dalam konteks ini, warganet saling mengawasi satu sama lain, menciptakan apa yang disebut sebagai surveillance society. Pengawasan ini tidak hanya tertuju pada perilaku buruk, tetapi juga pada perbedaan pendapat, yang seringkali memicu perundungan dan caci maki.

"Persoalannya dalam pengawasan itu bukan hanya perilaku buruk yang diperbincangkan untuk dikoreksi. Tapi perilaku yang berbeda juga dicaci maki. Segerombolan orang yang secara terpisah namun sepakat, kemudian beramai-ramai menyudutkan orang yang berbeda ini," tutur Firman.

Kurniawan menambahkan bahwa media sosial seringkali menjadi arena koreksi yang mengarah pada penyeragaman perilaku. Hal-hal yang seharusnya bisa didiskusikan secara terbuka justru menjadi sasaran caci maki. Ia menduga bahwa alasan utama orang meninggalkan X adalah karena merasa relasi di platform tersebut tidak sehat. Meninggalkan X menjadi cara untuk menjaga kewarasan di tengah hiruk pikuk dunia maya.

"Bukan lelah pada media sosial, tapi tidak sehat relasinya. Sehingga untuk mempertahankan kewarasan, lebih baik meninggalkan arena digital ini," ungkapnya.