Konflik Manusia-Kera di Kabupaten Semarang: Pariwisata dan Ancaman terhadap Ekosistem
Konflik Manusia-Kera di Kabupaten Semarang: Pariwisata dan Ancaman terhadap Ekosistem
Perkembangan sektor pariwisata di Kecamatan Getasan dan Banyubiru, Kabupaten Semarang, telah menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap ekosistem dan memicu konflik antara manusia dan kera. Peningkatan pembangunan penginapan dan tempat wisata di kawasan habitat kera telah memaksa satwa primata ini memasuki permukiman warga, memicu keresahan dan kerugian bagi masyarakat. Fenomena ini semakin intensif dalam setahun terakhir, ditandai dengan meningkatnya frekuensi kemunculan kawanan kera di sekitar pemukiman.
Budi Utomo, Ketua RT 1/RW 1 Dusun Gedong, Desa Gedong, Kecamatan Banyubiru, mengungkapkan kekhawatiran warga terhadap aktivitas kawanan kera yang semakin berani. Kawanan yang berjumlah 50 hingga 70 ekor kerap memasuki kebun dan rumah warga untuk mencari makanan. Mereka bahkan berani memasuki kandang ayam dan mengambil telur. Meskipun belum ada laporan serangan langsung ke manusia, kerusakan tanaman seperti jagung, umbi-umbian, dan buah-buahan menjadi dampak yang nyata. Utomo menambahkan bahwa arus sungai yang deras menghalangi pergerakan kera ke habitat alami mereka, memaksa mereka untuk mencari sumber daya di permukiman warga. Upaya pengusiran dengan petasan telah dilakukan, namun belum membuahkan hasil yang signifikan.
Di sisi lain, Ahmad Winarno, pendiri Villa Santri Kasepuhan Raden Rahmat di Desa Gedong, menjelaskan bahwa kawanan kera, yang berasal dari tiga koloni berbeda (Cebur, Gedong, dan Sepakung), sering terlihat di sekitar pondok perawat lansia. Jumlah kera yang muncul bisa mencapai 200 hingga 300 ekor. Winarno memilih pendekatan yang berbeda, yakni berdamai dengan keberadaan kera dan memberikan mereka makanan. Ia mengungkapkan upaya sebelumnya untuk mengusir kera dengan bantuan pawang dari Badui telah gagal. Winarno melihat pembangunan pariwisata sebagai penyebab utama konflik ini, menyatakan bahwa "manusia yang salah", karena habitat kera kini telah berubah menjadi kawasan wisata dan penginapan.
Sebagai solusi, Winarno mengusulkan pengembangan kawasan khusus untuk melokalisir populasi kera dan mengintegrasikannya ke dalam objek wisata edukatif. Langkah ini, menurutnya, dapat mencegah konflik lebih lanjut dan sekaligus menjadi daya tarik wisata baru. Namun, perlu upaya terpadu dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, pengelola wisata, dan masyarakat, untuk merealisasikan gagasan ini dan memastikan keberhasilannya dalam jangka panjang. Tantangannya terletak pada bagaimana menyeimbangkan kepentingan pariwisata dengan pelestarian habitat kera dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
- Dampak Pembangunan Pariwisata: Pembangunan infrastruktur pariwisata telah mengganggu ekosistem alami kera dan menyebabkan konflik.
- Perilaku Kera: Kera semakin sering memasuki permukiman untuk mencari makanan dan menyebabkan kerusakan.
- Upaya Pengendalian: Warga telah mencoba berbagai cara untuk mengusir kera, namun belum efektif.
- Solusi Alternatif: Pengembangan kawasan khusus untuk kera sebagai bagian dari objek wisata edukatif diusulkan sebagai solusi jangka panjang.
- Konflik Manusia-Satwa: Konflik ini menggambarkan permasalahan umum terkait pembangunan pariwisata yang kurang memperhatikan aspek lingkungan dan kesejahteraan satwa liar.