Jawa Tengah Gencarkan Sinergi dengan Muslimat NU Hadapi Lonjakan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengambil langkah proaktif dalam menanggapi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tercatat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Data menunjukkan peningkatan signifikan, dengan kasus kekerasan terhadap perempuan naik dari 939 pada tahun 2022 menjadi 1.019 pada tahun 2024, sementara kasus kekerasan pada anak meningkat dari 1.214 menjadi 1.349 pada periode yang sama. Bentuk kekerasan yang paling umum terjadi adalah kekerasan fisik pada perempuan (41,3 persen) dan kekerasan seksual pada anak (46,6 persen).
Sebagai respons terhadap tren yang mengkhawatirkan ini, Pemprov Jateng menjalin kemitraan strategis dengan Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan. Sinergi ini diwujudkan melalui peluncuran program relawan paralegal Muslimat NU, yang melibatkan 90 orang relawan terlatih yang siap memberikan pendampingan hukum dan psikososial kepada perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya di seluruh Jawa Tengah.
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin, menyatakan kegembiraannya atas kolaborasi ini, menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dalam mengatasi masalah kompleks ini. Program relawan paralegal sejalan dengan visi Pemprov Jateng untuk menciptakan Kecamatan Berdaya, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas.
Taj Yasin juga menyoroti pentingnya peran relawan paralegal dalam menjangkau korban kekerasan yang mungkin enggan melapor karena faktor budaya atau kurangnya kesadaran tentang hak-hak mereka. Ia menekankan bahwa setiap korban kekerasan berhak mendapatkan perlindungan dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan serta membangun kembali kehidupan mereka.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, mengapresiasi langkah proaktif Jawa Tengah dalam menangani masalah kekerasan. Ia menyoroti data nasional yang mengkhawatirkan, yang menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dan lebih dari setengah anak-anak usia 13-17 tahun melaporkan pernah menjadi korban kekerasan, terutama di lingkungan keluarga.
Arifatul Choiri Fauzi berharap Jawa Tengah dapat menjadi model nasional dalam penanganan kekerasan yang terintegrasi, dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi seperti Muslimat NU. Ia menekankan bahwa pencegahan kekerasan membutuhkan upaya kolektif dari pemerintah, masyarakat sipil, dan keluarga.
Dalam acara peluncuran program relawan paralegal, dilakukan penyematan simbolis kepada para relawan oleh Menteri PPPA, disaksikan oleh Ketua TP PKK Jateng dan Ketua PW Muslimat NU Jawa Tengah. Selain itu, ditandatangani nota kesepakatan antara Wakil Gubernur dan Menteri PPPA, serta perjanjian kerja sama antara Muslimat NU dengan Kemenag dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah. Langkah-langkah ini semakin memperkuat komitmen bersama untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan dan menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi semua warga Jawa Tengah.
Rincian Kerjasama:
- Pendampingan Hukum: Relawan paralegal memberikan bantuan hukum kepada korban kekerasan, termasuk informasi tentang hak-hak mereka dan proses hukum yang berlaku.
- Dukungan Psikososial: Relawan paralegal memberikan dukungan emosional dan psikologis kepada korban kekerasan, membantu mereka mengatasi trauma dan membangun kembali kepercayaan diri.
- Pemberdayaan Ekonomi: Relawan paralegal membantu korban kekerasan untuk mendapatkan akses ke sumber daya ekonomi, seperti pelatihan keterampilan dan bantuan modal usaha, agar mereka dapat mandiri secara finansial.
- Pendidikan dan Kesadaran: Relawan paralegal menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan kesadaran tentang pencegahan kekerasan di masyarakat, dengan fokus pada perubahan norma sosial dan peningkatan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan anak.