Wacana Penjurusan SMA Kembali Mengemuka: Antara Kebebasan Memilih dan Struktur Terarah

Polemik Penjurusan SMA: Menimbang Kebebasan Memilih dalam Kurikulum Merdeka

Wacana kembalinya sistem penjurusan di Sekolah Menengah Atas (SMA) memicu perdebatan hangat di kalangan siswa, pengamat pendidikan, pakar kebijakan, hingga guru. Di satu sisi, Kurikulum Merdeka menawarkan kebebasan bagi siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat. Di sisi lain, penjurusan dianggap memberikan struktur yang lebih jelas dan terarah, namun berpotensi membatasi eksplorasi minat siswa.

Aspirasi Siswa: Struktur Terarah atau Kebebasan Memilih?

Beberapa siswa seperti Ajeng dari Depok, mengungkapkan pengalamannya bahwa implementasi Kurikulum Merdeka di sekolahnya belum optimal. Ia menilai guru belum sepenuhnya siap mengatur jadwal dan kombinasi pelajaran yang beragam sesuai minat siswa. Menurutnya, kebebasan memilih pelajaran dalam Kurikulum Merdeka justru membingungkan dan menyebabkan beberapa pembelajaran tidak relevan. Senada dengan Ajeng, Gabriella dari Malang juga merasa lebih nyaman dengan sistem penjurusan karena tidak perlu mempelajari materi yang tidak sesuai dengan minatnya. Namun, ia juga menyadari bahwa penjurusan mungkin kurang cocok karena Kurikulum Merdeka baru diterapkan di sekolahnya.

Pandangan Pengamat dan Pakar: Risiko dan Manfaat Penjurusan

Pengamat pendidikan, Bukik Setiawan, menilai wacana penjurusan sebagai langkah mundur yang berisiko tinggi secara teknis dan filosofis. Ia menekankan pentingnya evaluasi yang memadai sebelum menerapkan kembali penjurusan, bukan sekadar keputusan politis yang terburu-buru. Bukik juga menyoroti potensi penjurusan dalam menciptakan hierarki mata pelajaran yang tidak sehat dan membatasi potensi siswa. Menurutnya, siswa yang salah jurusan dapat kehilangan motivasi, kepercayaan diri, dan bahkan arah hidup.

Pakar kebijakan publik Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin, mengakui adanya kelebihan dan kekurangan dari sistem penjurusan. Kelebihannya adalah mempermudah siswa mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi sesuai jalur yang dipilih. Namun, penjurusan yang dilakukan terlalu awal dapat menutup kemungkinan siswa untuk mengeksplorasi minat yang lebih luas. Andhyka menekankan pentingnya kebijakan pendidikan yang konsisten, partisipatif, dan berdasarkan evaluasi yang matang.

Perspektif Birokratis dan Politis

Peneliti kebijakan pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Agustina Kustulasari, melihat wacana penjurusan dari dua perspektif: birokratis institusional dan politis. Secara birokratis institusional, ia menilai kembalinya penjurusan kurang bijak karena penghapusan penjurusan baru dilakukan dalam satu tahun ajaran dan belum dievaluasi efektivitasnya. Sementara dari perspektif politis, perubahan kebijakan dapat dilakukan kapan saja jika dirasa perlu.

Implementasi Kurikulum Merdeka dengan Sistem Paket

Meski Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan memilih mata pelajaran, beberapa sekolah menerapkan sistem paket sebagai solusi. Guru kimia SMA Prestasi Prima Jakarta Timur, Atika Rifda, menjelaskan bahwa sekolahnya menawarkan semacam sistem paket kepada siswa. Misalnya, paket IPA dengan tambahan sosiologi, ekonomi, geografi, dan informatika. Dengan sistem paket ini, Atika merasa tidak akan ada kesulitan jika kembali ke format penjurusan. Ia juga lebih setuju dengan penjurusan karena banyak siswa yang menghindari mata pelajaran sulit seperti kimia dan fisika jika diberi kebebasan memilih.

Guru lain yang tidak ingin disebutkan namanya menekankan pentingnya peminatan IPA/IPS/Bahasa sebagaimana tes minat dan bakat yang pernah dilakukan. Ia mengaku siap jika penjurusan dihidupkan kembali dengan mempersiapkan diri melalui berbagai cara, seperti membaca materi, menyimak video pembelajaran, memodifikasi RPP, mengikuti pelatihan, dan menyusun strategi pembelajaran yang menyenangkan.

Kembalinya sistem penjurusan di SMA masih menjadi wacana yang memerlukan kajian mendalam. Berbagai perspektif perlu dipertimbangkan agar kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa, serta tidak mengorbankan potensi mereka untuk berkembang secara holistik.