Direktur Pemberitaan JAK TV Ditahan Terkait Kasus Dugaan Korupsi yang Menjerat PT Timah dan Ekspor CPO

Kejaksaan Agung terus mendalami kasus dugaan korupsi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk korporasi dan oknum aparat penegak hukum. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB), resmi ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan menghalangi penyidikan, penuntutan, hingga proses peradilan terkait dugaan korupsi di PT Timah, impor gula, dan ekspor crude palm oil (CPO).

Penahanan Tian Bahtiar menambah daftar tersangka yang telah dijebloskan ke Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung. Sebelumnya, dua tersangka lain, yaitu Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS), yang berprofesi sebagai advokat, juga telah ditahan. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menyatakan bahwa penahanan JS dan TB akan berlangsung selama 20 hari ke depan.

Kasus ini bermula dari penyidikan dugaan suap dalam penanganan perkara ekspor CPO yang melibatkan tiga korporasi besar, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Perkara ini bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait vonis lepas ekspor CPO terhadap ketiga perusahaan tersebut.

Daftar tersangka sebelumnya meliputi:

  • Muhammad Arif Nuryanta (Ketua PN Jakarta Selatan, sebelumnya menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat)
  • Wahyu Gunawan (Panitera Muda Perdata Jakarta Utara)
  • Marcella Santoso (Kuasa hukum korporasi)
  • Ariyanto Bakri (Kuasa hukum korporasi)
  • Djuyamto (Ketua Majelis Hakim)
  • Agam Syarif Baharuddin (Anggota Majelis Hakim)
  • Ali Muhtarom (Anggota Majelis Hakim)
  • Muhammad Syafei (Social Security Legal Wilmar Group)

Muhammad Syafei diduga sebagai pihak yang menyiapkan dana suap sebesar Rp 60 miliar untuk para hakim Pengadilan Tipikor Jakarta melalui pengacaranya, dengan tujuan mempengaruhi penanganan perkara. Diduga, Muhammad Arif Nuryanta, saat menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menerima suap sebesar Rp 60 miliar. Sementara itu, tiga hakim yang menjadi majelis, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, diduga menerima uang suap sebesar Rp 22,5 miliar. Tujuannya adalah agar majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO memberikan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging.

Vonis lepas sendiri merupakan putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana. Para tersangka dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Kasus ini terus bergulir dan membuka tabir praktik korupsi yang melibatkan berbagai elemen, dari korporasi hingga aparat penegak hukum.