Rupiah Terangkat Faktor Eksternal: Analisis Kekuatan Sementara dan Prospek Pasar

Rupiah Terangkat Faktor Eksternal: Analisis Kekuatan Sementara dan Prospek Pasar

Nilai tukar Rupiah menunjukkan penguatan terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) sejak penutupan perdagangan pada Kamis, 17 April 2025. Data terkini menunjukkan Rupiah berada pada level Rp 16.877 per Dolar AS pada Jumat, 18 April 2025, kemudian terus menguat hingga mencapai Rp 16.807 per Dolar AS pada Senin, 21 April 2025, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI). Penguatan ini menarik perhatian para pelaku pasar dan analis ekonomi untuk mengkaji lebih dalam faktor-faktor pendorong serta prospek Rupiah ke depannya.

Faktor Pendorong Penguatan Rupiah

Menurut pengamat pasar uang Ariston Tjendra, penguatan Rupiah sejalan dengan tren penguatan mata uang lainnya di kawasan Asia. Pada hari Senin, beberapa mata uang regional mencatatkan kinerja positif, di antaranya:

  • Yen Jepang: Menguat 1,04 persen
  • Won Korea Selatan: Menguat 0,40 persen
  • Peso Filipina: Menguat 0,20 persen
  • Ringgit Malaysia: Menguat 0,97 persen
  • Yuan China: Menguat 0,15 persen
  • Baht Thailand: Menguat 0,89 persen
  • Rupee India: Menguat 0,33 persen
  • Dolar Singapura: Menguat 0,66 persen
  • Dolar Taiwan: Menguat 0,71 persen

Ariston menjelaskan bahwa penguatan mayoritas mata uang Asia ini didorong oleh melemahnya Dolar AS. Sentimen negatif terhadap Dolar AS muncul setelah pernyataan Presiden AS saat itu, Donal Trump, yang meminta Bank Sentral AS (The Fed) untuk segera memangkas suku bunga acuan. Pernyataan tersebut dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap independensi Bank Sentral. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan di tengah perang dagang dinilai berpotensi memperburuk kondisi perekonomian AS.

Akibatnya, indeks Dolar AS (DXY) mengalami penurunan sebesar 1,30 persen ke level 98,09 pada perdagangan sore hari, dibandingkan dengan penutupan akhir pekan sebelumnya di level 99,38. Hal senada diungkapkan oleh Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), yang menyatakan bahwa penguatan Rupiah disebabkan oleh pelemahan Dolar AS akibat kurangnya kepercayaan investor terhadap kebijakan internal The Fed.

Prospek Rupiah ke Depan

Meski Rupiah menunjukkan penguatan dalam beberapa hari terakhir, Ariston Tjendra menilai bahwa potensi pelemahan masih tetap besar. Hal ini disebabkan karena penguatan Rupiah belum terlalu signifikan dan masih ada ketidakpastian terkait kebijakan tarif resiprokal dari AS sebesar 32 persen. Pemerintah Indonesia saat ini sedang bernegosiasi dengan pihak AS untuk menurunkan tarif impor produk-produk Indonesia. Proses negosiasi ini diperkirakan akan berlangsung selama 60 hari ke depan.

Bhima Yudhistira menambahkan bahwa Rupiah juga berpotensi tertekan karena adanya pembagian dividen perusahaan, yang akan menyebabkan repatriasi dana ke luar negeri. Investor asing cenderung mentransfer kembali dana dividen ke negara asal mereka. Selain itu, tekanan pada Rupiah juga bisa datang dari pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo dalam tiga bulan mendatang. Pembayaran utang pemerintah diperkirakan mencapai Rp 178,9 triliun pada Juni, Rp 105,3 triliun pada Agustus, dan Rp 100,7 triliun pada Oktober mendatang. Pembayaran utang ini berpotensi menurunkan cadangan devisa dan memicu pelemahan Rupiah. Meskipun demikian, cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2025 mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya, yaitu dari 154,5 miliar Dolar AS menjadi 157,1 miliar Dolar AS.