Uji Materi ke MK: Warga Negara Pertanyakan Mekanisme PAW Anggota DPR oleh Partai Politik

Sejumlah warga negara Indonesia mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang mengatur tentang penggantian antarwaktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para pemohon menggugat ketentuan yang memberikan hak kepada partai politik untuk melakukan PAW, dan mengusulkan agar proses penggantian tersebut melibatkan pemilihan umum di daerah pemilihan (dapil) asal anggota DPR yang bersangkutan.

Berdasarkan data dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, terdapat dua permohonan yang diajukan terkait dengan mekanisme PAW ini. Permohonan pertama diajukan oleh Chindy Trivendy Junior, Halim Rahmansah, Insan Kamil, Muhammad Arya Ansar, dan Wahyu Dwi Kanang dengan nomor registrasi 41/PUU-XXIII/2025. Permohonan kedua diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dengan nomor registrasi 42/PUU-XXIII/2025. Kedua gugatan tersebut sama-sama menyoroti pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Dalam permohonan nomor 41, para pemohon secara spesifik meminta MK untuk menghapus Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3. Mereka berpendapat bahwa hak partai politik untuk me-recall atau mengganti anggota DPR yang diatur dalam pasal tersebut dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan representasi rakyat.

Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 berbunyi:

Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:

d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dalam permohonan nomor 42 mengajukan gugatan terhadap lima pasal dalam UU MD3 dan satu pasal dalam UU Pemilu. Berikut adalah petitum atau tuntutan yang diajukan oleh pemohon:

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan frasa 'Fraksi' dalam Pasal 12 dan Pasal 82 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; atau menyatakan frasa 'tugasnya sebagai wakil rakyat' dalam Pasal 12 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai 'tugasnya sebagai wakil rakyat untuk dapat menyampaikan pendapat secara perseorangan wakil rakyat dan bukan atas nama fraksi'. Menyatakan frasa 'hak dan kewajiban anggota DPR' dalam Pasal 82 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'hak dan kewajiban perseorangan anggota DPR untuk menyatakan pendapatnya perseorangan tanpa pengaruh dan atas nama fraksi'
  3. Menyatakan frasa 'Semua rapat di DPR' dalam Pasal 229 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'semua rapat di DPR wajib dilakukan di Gedung DPR kecuali terdapat keadaan tertentu yang menyebabkan fasilitas di seluruh ruang rapat di gedung DPR tidak dapat digunakan atau berfungsi dengan baik'.
  4. Menyatakan frasa 'diusulkan oleh partai politiknya' dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kemudian diputuskan oleh rakyat melalui pemilihan kembali'.
  5. Menyatakan Penjelasan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Yang dimaksud dengan pemilihan kembali adalah pemilihan umum yang diselenggarakan di Daerah Pemilihan (Dapil) masing-masing anggota DPR terpilih yang diusulkan berhenti oleh Partai Politik melalui mekanisme pemilihan Surat Suara dengan pilihan yang tersedia ya atau tidak'.
  6. Menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf g UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  7. Menyatakan frasa 'secara serentak' dalam Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Pemungutan suara untuk DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan secara paruh waktu di tengah masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden atau dilaksanakan 2,5 tahun setelah Pemilu Serentak.

Dengan diajukannya gugatan-gugatan ini, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberikan putusan yang akan memperjelas dan menyeimbangkan hak partai politik dalam melakukan PAW dengan prinsip representasi rakyat dalam sistem demokrasi di Indonesia. Putusan MK akan menjadi pedoman dalam implementasi mekanisme PAW anggota DPR di masa mendatang.