Petani Lumajang Gigit Jari: Investasi Ubi Unggul Berujung Kerugian
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, menjadi saksi bisu nestapa seorang petani bernama Yulianto. Dengan penuh harapan, ia menanam ubi varietas Gatot Kaca, yang merupakan hasil riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Namun, alih-alih meraup untung, Yulianto justru merugi hingga puluhan juta rupiah.
Dengan semangat membara, Yulianto menyewa lahan seluas 2,5 hektar selama dua tahun. Ia tergiur oleh potensi hasil panen dan harga jual ubi Gatot Kaca. Di tahun pertama, usahanya membuahkan hasil yang menggembirakan. Harga jual mencapai Rp 3.500 per kilogram, dan total produksinya mencapai 40 ton per hektar. Dengan lahan yang luas, Yulianto berhasil memanen sekitar 100 ton ubi, yang setara dengan pendapatan Rp 350 juta.
Namun, roda nasib berputar. Tahun kedua membawa petaka bagi Yulianto. Setelah mengeluarkan modal hingga Rp 100 juta, ia tak mampu menjual hasil panennya. Ubi yang seharusnya dipanen dalam waktu 4,5 bulan justru membusuk setelah 8 bulan. Janji manis kemitraan untuk menyerap hasil panen tak kunjung ditepati. Yulianto mengungkapkan kekecewaannya, "Seharusnya dipanen usia 4,5 bulan. Tetapi yang ini usia 8 bulan jadinya busuk. Kemitraan tidak menyerap, mereka tidak datang untuk memanen. Dulu mau dijual ke orang lain, tidak boleh. Sekarang membusuk."
Menurut penuturan Yulianto, kesepakatan dengan mitra hanya berdasarkan kepercayaan, tanpa perjanjian tertulis. Mitra tersebut adalah seorang pengepul ubi yang cukup dikenal di Kecamatan Pasrujambe. Hal inilah yang membuatnya berani menanam ubi Gatot Kaca dalam skala besar. Bibit ubi yang ditanam pun berasal dari rekan mitra, yang juga menyediakan alat untuk penanaman.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Lumajang, Ishak Subagyo, membenarkan bahwa ubi Gatot Kaca adalah varietas unggulan yang diakui oleh BRIN. Namun, ia menyayangkan kurangnya pendampingan yang komprehensif bagi para petani. "Seharusnya ada pengawalan dari mulai produksi hingga panen. Ke mana pasarnya? Ini tidak, petani dibiarkan terkecoh dengan katanya varietas unggulan tetapi tidak ada pendampingan. Padahal ini kualitas ekspor. Kan sekarang kasihan, yang jadi korbannya ini petani," ujar Ishak dengan nada prihatin.
Kasus yang menimpa Yulianto menjadi cermin bagi permasalahan yang dihadapi petani di Lumajang. Diperlukan perhatian lebih dari pemerintah dan pihak terkait untuk memberikan pendampingan yang memadai, sehingga petani tidak hanya terpikat oleh potensi hasil panen, tetapi juga memiliki kepastian pasar dan jaminan keberlangsungan usaha.