Direktur JAK TV Tersangka: Kontroversi Penerapan Pasal Obstruction of Justice dalam Kasus Dugaan Korupsi

Polemik Penerapan Pasal Perintangan Penyidikan pada Direktur JAK TV

Penetapan Tian Bahtiar (TB), Direktur Pemberitaan JAK TV, sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) memicu perdebatan sengit. TB diduga melanggar Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait perintangan penyidikan. Kasus ini memunculkan pertanyaan krusial tentang batasan kebebasan pers dan penerapan hukum dalam konteks pemberitaan yang dianggap merugikan institusi pemerintah.

Kejaksaan Agung menuding Tian Bahtiar membuat dan menyebarkan narasi serta konten negatif yang bertujuan mendiskreditkan institusi tersebut. Konten ini dianggap menghambat proses penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan PT Timah, impor gula, dan ekspor Crude Palm Oil (CPO).

Abdul Qohar, Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, mengungkapkan bahwa Tian Bahtiar diduga menerima pesanan dari Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS), yang merupakan advokat dari pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus yang sedang diusut oleh Kejagung. Kedua pengacara itu disebut sebagai pihak yang mengorder pemberitaan negatif itu. Qohar menyatakan bahwa Tian diduga menerima imbalan sebesar Rp 478.500.000 untuk memuat konten-konten yang merugikan Kejagung. Tindakan ini disebut dilakukan tanpa sepengetahuan pihak manajemen JAK TV.

Atas perbuatannya, Tian Bahtiar dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Kebebasan Pers vs. Upaya Perintangan Hukum

Penerapan pasal perintangan penyidikan ini menimbulkan polemik. Pers memiliki hak untuk menghasilkan karya jurnalistik berdasarkan fakta, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pasal 21 UU Tipikor mengatur tentang sanksi bagi siapa saja yang dengan sengaja menghalangi atau menggagalkan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa dalam kasus korupsi. Sanksinya berupa pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun, serta denda minimal Rp 150.000.000 dan maksimal Rp 600.000.000.

Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), berpendapat bahwa penggunaan Pasal 21 dalam kasus ini kurang tepat. Ia berargumentasi bahwa isi pemberitaan, baik positif maupun negatif, berada dalam ranah kebebasan pers dan tidak dapat dikenakan tindakan hukum. Indriyanto menyarankan agar Kejagung menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Indriyanto menambahkan bahwa penggunaan Pasal 21 UU Tipikor dalam konteks pemberitaan dapat menimbulkan stigma sebagai tindakan represif terhadap kebebasan pers, yang dilarang oleh konstitusi. Ia juga mengingatkan bahwa baru kali ini ada insan pers yang dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor.

Pasal 3 UU Nomor 11 Tahun 1980 mengatur tentang sanksi bagi penerima suap, yaitu pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp 15.000.000.

Indriyanto juga menyarankan Kejagung untuk berkoordinasi dengan Dewan Pers, mengingat adanya MoU antara Dewan Pers dan aparat penegak hukum mengenai penanganan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh insan pers atau media. Koordinasi ini penting untuk menghindari kesan adanya tekanan terhadap kebebasan pers.

Ia menekankan pentingnya pembatasan yang jelas dalam frasa "merintangi" dalam Pasal 21 UU Tipikor. Istilah ini bisa diartikan luas dan berhubungan dengan norma Contempt of Court. Contohnya, seseorang mempengaruhi saksi atau tersangka untuk menghilangkan barang bukti atau memberikan keterangan palsu.

Klarifikasi Kejagung

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa tindakan pidana yang disangkakan kepada Tian Bahtiar merupakan tindakan pribadi dan tidak terkait dengan aktivitas jurnalistik maupun institusi media tempatnya bekerja. Ia juga menyatakan bahwa Kejagung tidak mempersoalkan pemberitaan, melainkan tindakan permufakatan jahat untuk merintangi proses hukum yang sedang berjalan.

Harli menambahkan bahwa Kejagung menghormati otoritas Dewan Pers dalam menilai dan menangani persoalan etik atau dugaan pelanggaran dalam karya jurnalistik.