Momentum Hari Bumi: Seruan untuk Pemulihan Lahan dan Hutan dari Degradasi
Momentum Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April, menjadi pengingat pentingnya upaya kolektif dalam menjaga kelestarian planet ini. Tahun ini, sorotan utama tertuju pada mendesaknya pemulihan lahan dan hutan yang mengalami degradasi akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Isu ini mengemuka dalam seminar bertajuk 'Urgensi Penyelamatan Bumi Melalui Pembangunan Kota yang Sehat, Tangguh dan Produktif' yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia (UI).
Dr. drg. Widya Leksmanawati Habibie, Direktur Eksekutif The Habibie Institute for Public Policy and Governance, menekankan perlunya kesadaran dan tindakan nyata dari seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk melindungi lingkungan. Beliau menyoroti dampak negatif dari limbah, polusi, dan kerusakan alam lainnya yang mengancam kesehatan bumi dan kesejahteraan manusia. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan, termasuk mencairnya es di kutub dan kerusakan ekosistem laut akibat sampah, memerlukan solusi komprehensif yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan pemerintah.
Dr. Rasio Ridho Sani, Deputi Bidang Pengendalian dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, menyoroti alih fungsi lahan sebagai penyebab utama bencana alam seperti banjir. Ia mencontohkan banjir yang melanda Jabodetabek sebagai akibat dari perubahan fungsi hutan di kawasan Puncak, Bogor, menjadi villa dan bangunan wisata yang tidak sesuai dengan tata ruang. Dr. Rasio menekankan perlunya tindakan tegas dari pemerintah untuk memulihkan fungsi lahan dan hutan yang rusak, serta menegakkan aturan tata ruang untuk mencegah bencana serupa di masa depan.
Krisis lingkungan hidup, menurut Dr. Rasio, tidak hanya terbatas pada pencemaran air, udara, dan tanah, tetapi juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang luas. Ia mencontohkan dampak perubahan iklim yang menyebabkan banjir besar di Jabodetabek, yang mengakibatkan kerugian ekonomi dan sosial yang signifikan. Oleh karena itu, ia menyerukan adanya kerjasama yang berkelanjutan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, untuk mengatasi masalah lingkungan secara komprehensif.
Lebih jauh, Dr. Rasio menyoroti dampak perang terhadap kerusakan lingkungan. Penggunaan senjata, terutama senjata pemusnah massal seperti nuklir, memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan bumi yang sangat besar. Emisi dari pesawat perang juga berkontribusi terhadap polusi udara dan perubahan iklim. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya mencegah terjadinya perang dan mempromosikan perdamaian sebagai bagian dari upaya menjaga kelestarian bumi.