Kejagung Sita Ratusan Helm Bernilai Tinggi dari Kediaman Tersangka Suap Kasus CPO
Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan suap terkait penanganan perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Sebagai bagian dari proses tersebut, tim penyidik telah menyita sebanyak 130 buah helm dari kediaman pengacara berinisial AR, yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Penyitaan tersebut dilakukan setelah penggeledahan di rumah AR yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (17/4/2025). Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengkonfirmasi penyitaan ini pada Rabu (23/4/2025) di Gedung Penerangan Hukum Kejagung. Menurut Harli, penyitaan dilakukan karena helm-helm tersebut diduga terkait dengan kasus suap yang sedang diusut, dan memiliki nilai ekonomis yang signifikan.
"Mungkin publik bertanya-tanya, mengapa helm juga disita? Ternyata, helm saat ini memiliki nilai ekonomis yang cukup fantastis," ujar Harli.
Meski demikian, Kejagung belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai total nilai dari 130 helm yang disita tersebut.
Kasus dugaan suap ini sendiri terkait dengan vonis lepas terhadap tiga perusahaan dalam kasus ekspor CPO, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Hingga saat ini, Kejagung telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
Berikut daftar tersangka dalam kasus ini:
- Muhammad Arif Nuryanta (Ketua PN Jakarta Selatan, sebelumnya Wakil Ketua PN Jakarta Pusat)
- Wahyu Gunawan (Panitera Muda Perdata Jakarta Utara)
- Marcella Santoso (Kuasa hukum korporasi)
- Ariyanto Bakri (Pengacara)
- Djuyamto (Ketua Majelis Hakim)
- Agam Syarif Baharuddin (Anggota Majelis Hakim)
- Ali Muhtarom (Anggota Majelis Hakim)
- Muhammad Syafei (Social Security Legal Wilmar Group)
Peran masing-masing tersangka dalam kasus ini bervariasi. Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar. Sementara itu, tiga hakim yang menjadi majelis perkara CPO, yaitu Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, diduga menerima uang suap sebesar Rp 22,5 miliar. Muhammad Syafei, dari Wilmar Group, diduga menjadi pihak yang menyiapkan dana suap tersebut.
Suap tersebut diduga diberikan dengan tujuan agar majelis hakim memberikan vonis lepas (ontslag van alle recht vervolging) kepada para terdakwa dalam kasus ekspor CPO. Vonis lepas sendiri merupakan putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.