DPR: Pemberhentian PLTU Sebelum Kontrak Berakhir Berisiko Tinggi
Komisi VII DPR RI menegaskan bahwa rencana penghentian operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebelum masa kontrak berakhir tidak akan direalisasikan. Pertimbangan utama adalah menjaga stabilitas dan ketahanan energi nasional. Pernyataan ini disampaikan oleh Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Ramson Siagian, usai rapat tertutup dengan Dirjen Ketenagalistrikan ESDM.
Ramson menjelaskan bahwa opsi 'pensiun dini' PLTU yang selama ini didiskusikan sebenarnya mengacu pada penghentian operasional PLTU setelah masa kontrak dengan Independent Power Producer (IPP) selesai. Setelah kontrak berakhir, PLN memiliki dua pilihan: menghentikan operasional PLTU atau memperpanjangnya jika permintaan listrik masih tinggi dan pasokan dari sumber lain belum mencukupi.
Lebih lanjut, Ramson menyoroti pentingnya penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) pada PLTU yang masih beroperasi. Ia beralasan bahwa pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pembangunan PLTU konvensional. Dengan teknologi CCS/CCUS, emisi karbon dari PLTU dapat ditangkap dan disimpan, sehingga meminimalkan dampak lingkungan.
"PLTU-nya bisa dibangun CCS, Carbon Capture Storage. Jadi memang teknologi itu cukup bagus, cuma harus investasi. Kalau sudah investasi, harga per KWH tidak tinggi. Jadi CCUS atau Carbon Capture Utility Storage," ujarnya.
Menurut Ramson, penghentian PLTU secara prematur akan membahayakan ketahanan energi nasional karena berpotensi menyebabkan defisit pasokan listrik. Ia mencontohkan bahwa Amerika Serikat pun saat ini masih mempertimbangkan keberlanjutan PLTU mereka karena belum memiliki sumber energi alternatif yang memadai. Ramson menambahkan bahwa kondisi di Indonesia pun serupa, di mana pasokan listrik dari EBT belum mampu sepenuhnya menggantikan peran PLTU.
"Jadi itu kalau langsung didelete itu, PLTU bisa-bisa kita defisit. Supply energi listrik kita kan berbahaya itu," katanya.
Pemerintah sendiri telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Permen ini menjadi landasan hukum bagi percepatan pensiun dini PLTU. Namun, Permen tersebut juga mensyaratkan dilakukannya kajian mendalam dan penerapan kriteria penilaian yang ketat sebelum PLTU dapat dihentikan operasionalnya.
Kriteria penilaian tersebut meliputi:
- Kapasitas dan usia pembangkit
- Utilisasi
- Emisi gas rumah kaca PLTU
- Nilai tambah ekonomi
- Ketersediaan dukungan pendanaan dan teknologi (dalam dan luar negeri)
Selain itu, penghentian operasi PLTU juga harus mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan, dampak terhadap tarif listrik, dan penerapan prinsip transisi energi yang berkeadilan.