Polemik Gelar Pahlawan Nasional Soeharto Kembali Mencuat Pasca Pencabutan TAP MPR Terkait KKN

Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali menjadi perbincangan hangat setelah Kementerian Sosial mengemukakan usulan tersebut. Isu ini semakin menarik perhatian publik setelah Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyinggung pencabutan Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Saifullah Yusuf berpendapat bahwa pencabutan TAP MPR 11/1998 dapat membuka jalan bagi Soeharto untuk menerima gelar pahlawan nasional. Pernyataan ini memicu diskusi mendalam mengenai relevansi TAP MPR tersebut dengan potensi pemberian gelar kehormatan kepada mendiang mantan presiden.

TAP MPR 11/1998 dan Implikasinya

TAP MPR 11/1998 merupakan landasan hukum yang menekankan pentingnya penyelenggaraan negara yang jujur, adil, terbuka, dan terbebas dari praktik KKN. Pasal 2 TAP MPR tersebut secara tegas mengatur standar etika dan moral bagi para pejabat negara.

Lebih lanjut, Pasal 4 TAP MPR 11/1998 secara eksplisit menyebut nama Soeharto dalam konteks pemberantasan KKN. Pasal tersebut menyatakan bahwa upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun, termasuk mantan pejabat negara, keluarga, kroni, pihak swasta, dan mantan Presiden Soeharto, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.

Pencabutan TAP MPR dan Pertimbangan MPR

Pada tanggal 25 September 2024, MPR mencabut TAP MPR 11/1998 yang sebelumnya menyinggung nama Soeharto terkait KKN. Keputusan ini didasari oleh pertimbangan bahwa TAP MPR tersebut dianggap telah dilaksanakan dan yang bersangkutan telah meninggal dunia.

Ketua MPR Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa meskipun TAP MPR 11/1998 telah dicabut, substansinya masih berlaku melalui TAP MPR Nomor I/R 2003. Ia menambahkan bahwa penyebutan nama Soeharto dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dianggap selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.

Usulan Gelar Pahlawan Nasional dan Kontroversi yang Menyertai

Setelah pencabutan TAP MPR 11/1998, MPR mengadakan silaturahmi kebangsaan dengan keluarga Soeharto. Dalam kesempatan tersebut, Bambang Soesatyo menyampaikan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ia menekankan pentingnya mengakhiri dendam sejarah yang dapat memecah belah bangsa.

Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto saat ini sedang diproses di Kementerian Sosial. Selain Soeharto, terdapat beberapa nama lain yang juga diusulkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional, antara lain:

  • KH Abdurrahman Wahid (Jawa Timur)
  • Sansuri (Jawa Timur)
  • Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah)
  • Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh)
  • K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat)

Selain itu, terdapat empat nama baru yang diusulkan pada tahun ini, yaitu:

  • Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali)
  • Deman Tende (Sulawesi Barat)
  • Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara)
  • K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur)

Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Sebagian pihak mendukung usulan tersebut dengan alasan jasa-jasa Soeharto dalam pembangunan bangsa, sementara sebagian lainnya menolak karena rekam jejaknya yang dinilai kontroversial, terutama terkait isu KKN. Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengambil keputusan terkait pemberian gelar pahlawan nasional ini.