Ekspansi Pembangkit Listrik Gas: Ancaman Baru Bagi Ekonomi Indonesia?

Rencana ambisius pemerintah untuk menjadikan gas bumi sebagai tulang punggung transisi energi Indonesia, melalui penambahan signifikan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), menuai kekhawatiran mendalam dari berbagai pihak. Proyeksi pembangunan PLTG baru sebesar 22 gigawatt (GW) hingga tahun 2040, yang tersebar di lebih dari seratus lokasi di seluruh nusantara, dikhawatirkan justru akan menjadi beban ekonomi yang berat bagi Indonesia di masa depan.

Kritik tajam datang dari para pengamat lingkungan dan ekonomi. Mereka menyoroti tren penurunan produksi gas bumi domestik dalam satu dekade terakhir. Data menunjukkan bahwa produksi gas Indonesia bahkan mengalami penurunan sebesar 20 persen dibandingkan tahun 2015. Apabila ekspansi PLTG tetap dipaksakan, Indonesia terancam menjadi importir gas dalam jumlah besar, bahkan diprediksi menjadi net importer gas pada tahun 2050.

Impor Gas: Mengulang Sejarah Kelam

Kondisi ini dikhawatirkan akan mengulang sejarah kelam Indonesia sebagai net importer minyak sejak tahun 2004. Beban ganda sebagai pengimpor minyak dan gas akan memberikan tekanan besar pada defisit transaksi berjalan, yang pada gilirannya akan berdampak negatif pada nilai tukar rupiah. Ketergantungan pada impor gas juga akan meningkatkan kebutuhan akan mata uang asing (dolar AS), yang dapat memperparah depresiasi rupiah.

Dampak Ekonomi yang Merugikan

Selain ancaman terhadap nilai tukar rupiah, ekspansi PLTG juga diprediksi akan menurunkan output ekonomi secara signifikan. Studi terbaru menunjukkan bahwa PLTG dapat menurunkan output ekonomi sebesar Rp 941,4 triliun secara akumulatif hingga tahun 2040. Pembangkit Listrik Tenaga Gas Siklus Gabungan (PLTGU) juga diperkirakan akan menurunkan output hingga Rp 280,9 triliun.

Transisi Energi yang Berkelanjutan

Para pengkritik menekankan bahwa transisi energi seharusnya tidak hanya mempertimbangkan aspek penggantian sumber energi fosil, tetapi juga ketahanan ekonomi nasional. Investasi besar-besaran pada PLTG, dengan risiko ketergantungan impor gas, dinilai sebagai langkah yang kurang bijaksana dan dapat menjadi "bom waktu" bagi perekonomian Indonesia.

Pemerintah didorong untuk mempertimbangkan alternatif energi terbarukan yang lebih berkelanjutan, seperti tenaga surya, angin, dan air, serta meningkatkan efisiensi energi untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Kata kunci penting dalam berita ini:

  • Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)
  • Transisi Energi
  • Impor Gas
  • Defisit Transaksi Berjalan
  • Nilai Tukar Rupiah
  • Net Importer
  • Energi Terbarukan
  • Ketahanan Ekonomi Nasional