Ariel Noah dan Musisi Lainnya Ajukan Gugatan UU Hak Cipta, Soroti Potensi Diskriminasi Royalti

Ariel Noah bersama 28 musisi lainnya menggugat sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Gugatan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan adanya potensi diskriminasi dalam sistem pembayaran royalti yang berlaku saat ini.

Para musisi yang tergabung dalam gugatan ini menyoroti lima pasal yang dianggap bermasalah, yaitu Pasal 9 ayat 3, Pasal 23 ayat 5, Pasal 81, Pasal 87 ayat 1, dan Pasal 113 ayat 2. Tim pengacara dari pihak penggugat berpendapat bahwa penafsiran Pasal 9 ayat 3 seringkali keliru dan menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap pelaku pertunjukan.

Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta melarang penggunaan komersial suatu karya tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. Namun, penggugat berpendapat bahwa pasal ini bertentangan dengan Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 87 ayat 4 UU Hak Cipta.

"Bunyi Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta yang mengatur larangan penggunaan ciptaan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta pada praktiknya sering menimbulkan penafsiran keliru. Kekeliruan penafsiran tersebut telah menimbulkan perilaku diskriminatif berupa pelarangan bagi pelaku pertunjukan tertentu oleh pencipta lagu untuk membawakan lagu-lagu ciptaannya," ujar tim pengacara pemohon dalam sidang MK.

Mereka meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta tetap konstitusional asalkan dimaknai bahwa penggunaan komersial ciptaan dalam pertunjukan tidak memerlukan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta, dengan kewajiban tetap membayar royalti.

Selain itu, penggugat juga menyoroti Pasal 81 UU Hak Cipta terkait ketentuan direct license. Mereka menilai bahwa direct license justru akan menyulitkan pelaku pertunjukan yang baru memulai karir untuk mendapatkan lisensi pertunjukan.

"Penerapan direct license akan menyulitkan bagi pelaku pertunjukan yang baru berkembang untuk dapat mengakses lisensi performing rights. Kesulitan akses tersebut diakibatkan penentuan tarif royalti direct licensing yang dilakukan berdasarkan hasil negosiasi perjanjian yang acuannya adalah kehendak subjektif pencipta. Hal tersebut membuat royalti pada lagu-lagu popular ciptaan komposer terkenal memiliki tarif yang mahal dan menjadi diskriminatif karena hanya menguntungkan pelaku pertunjukan yang bermodal besar," jelas penggugat.

Mereka berpendapat bahwa Pasal 81 bertentangan dengan Pasal 23 UU Hak Cipta. Penafsiran Pasal 81 yang mengakomodasi direct licensing dinilai menimbulkan kebingungan karena Pasal 23 ayat 5 memperbolehkan pelaku pertunjukan membawakan karya tanpa izin, asalkan membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Berikut adalah poin-poin petitum yang diajukan Ariel Cs dalam gugatan ini:

  • Menerima dan mengabulkan pengujian UU Hak Cipta yang diajukan pemohon untuk seluruhnya.
  • Menyatakan Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penggunaan komersial ciptaan dalam pertunjukan tidak memerlukan izin pencipta, dengan kewajiban membayar royalti.
  • Menyatakan Pasal 23 Ayat 5 UU Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai bahwa "setiap orang" bisa dimaknai sebagai penyelenggara acara pertunjukan, kecuali ada perjanjian berbeda dan pembayaran royalti dapat dilakukan sebelum atau sesudah penggunaan komersial.
  • Menyatakan Pasal 81 UU Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai bahwa karya yang memiliki hak cipta yang digunakan secara komersial dalam pertunjukan tidak perlu lisensi dari pencipta, dengan kewajiban membayar royalti melalui LMK.
  • Menyatakan Pasal 87 Ayat 1 UU Hak Cipta inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait melakukan mekanisme lain untuk memungut royalti secara non-kolektif dan/atau memungut secara diskriminatif.
  • Menyatakan ketentuan huruf f Pasal 113 Ayat 2 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum.
  • Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia.