Jerat Duniawi: Ketika Kekayaan Membawa Ilusi
Jerat Duniawi: Ketika Kekayaan Membawa Ilusi
Kekayaan, sebuah kata yang seringkali diasosiasikan dengan kebahagiaan dan kemudahan. Tak sedikit yang berlomba-lomba mengumpulkan harta, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Namun, Islam memandang kekayaan dengan perspektif yang berbeda. Kekayaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk meraih ridha Allah SWT. Islam tidak melarang umatnya untuk kaya, justru menganjurkan untuk mencari rezeki sebanyak-banyaknya agar dapat memberi manfaat bagi sesama melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Idealnya, harta berada di tangan, bukan di hati, sehingga tidak membutakan mata dan hati dari tujuan yang lebih luhur.
Namun, realitasnya, banyak orang kaya yang justru terperangkap dalam ilusi kekayaan. Mereka tertipu oleh gemerlap duniawi, mengira bahwa harta dapat membeli segalanya, termasuk ampunan dan kebahagiaan abadi. Berikut adalah beberapa golongan orang kaya yang tertipu:
-
Pertama, mereka yang membangun tempat ibadah atau fasilitas umum dengan harapan nama mereka diabadikan sebagai donatur. Mereka mencari pengakuan dan pujian manusia, bukan ridha Allah SWT. Ikhlas adalah amalan hati, bukan sekadar tindakan lahir yang dipamerkan. Syair indah mengingatkan: "Wahai ikhlas, kemana saja kau pergi? Tulus ingin jumpa. Jika kau berdua bersama, jadi fondasi kehidupan." Keikhlasan adalah fondasi amal yang kokoh, yang menghantarkan pada pertolongan Allah SWT.
-
Kedua, mereka yang memperoleh harta dengan cara halal, lalu menginfakkannya untuk masjid, namun terbersit riya' dalam hati. Mereka ingin dilihat dan dipuji oleh orang banyak, sementara tetangga mereka yang miskin dan membutuhkan justru terabaikan. Selain itu, mereka mungkin berlebihan dalam menghias masjid, hingga mengganggu kekhusyukan orang yang shalat. Dosa atas kelalaian yang diakibatkan oleh hiasan tersebut akan menjadi tanggung jawab mereka.
-
Ketiga, mereka yang bersedekah dengan perayaan yang mewah, atau berulang kali menunaikan ibadah haji dan umrah, namun membiarkan tetangga mereka kelaparan. Mereka lebih mementingkan citra diri daripada membantu sesama yang membutuhkan. Bisyir bin al-Harits al-Hafi, seorang ulama sufi dari Irak, mengingatkan bahwa harta yang diperoleh dari cara yang tidak bersih cenderung digunakan untuk hal-hal yang serampangan, yang dipamerkan sebagai amal saleh. Padahal, Allah SWT hanya menerima amal dari orang-orang yang bertakwa.
-
Keempat, mereka yang menimbun harta karena kikir. Mereka sibuk beribadah fisik yang tidak memerlukan biaya, seperti puasa dan shalat malam, namun enggan mengeluarkan harta untuk membantu sesama. Bisyir berkata, "Kasihan, dia meninggalkan ahwalnya sendiri dan memasuki ahwalnya orang lain. Ahwal orang itu (bakhil) tiada lain memberi makanan pada orang-orang yang lapar dan memberi sedekah orang miskin. Hal ini lebih utama daripada membuat lapar diri sendiri dan daripada shalat yang dilakukan untuk kemaslahatan diri sendiri, seraya menumpuk harta dan bakhil terhadap kaum fakir." Bahkan, ada orang kaya yang membayar zakat, namun menuntut orang-orang fakir untuk melayani dan memuji-mujinya. Tindakan ini merusak niat dan menghancurkan amal.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita agar tidak termasuk dalam golongan orang kaya yang tertipu. Jadikanlah kekayaan sebagai sarana untuk menumpuk bekal akhirat, bukan sebagai tujuan akhir yang membutakan hati dan menjauhkan diri dari-Nya.