Kasus Pabrik Ekstasi Medan: Pemilik Divonis Mati, Empat Terdakwa Lainnya Divonis Berbagai Masa Penjara

Kasus Pabrik Ekstasi Medan: Vonis Mati dan Penjara Bertahun-tahun

Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan vonis terhadap para terdakwa kasus pabrik ekstasi rumahan di Jalan Kapten Jumhana, Medan Area. Sidang yang berlangsung Kamis, 6 Maret 2025, dipimpin oleh Hakim Ketua Nani Sukmawati, menghasilkan putusan yang beragam, mulai dari hukuman mati hingga penjara puluhan tahun. Hendrik Kusomo (41), pemilik pabrik, divonis hukuman mati. Vonis ini mencerminkan keseriusan pengadilan dalam menghadapi kejahatan narkotika yang merusak generasi muda. Hakim menilai Hendrik terbukti bersalah memproduksi dan mendistribusikan ekstasi, melanggar Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dakwaan alternatif kedua juga terbukti di mata hukum.

Selain Hendrik, istrinya, Debby Kent (36), turut divonis 20 tahun penjara atas keterlibatannya dalam bisnis haram tersebut. Dua terdakwa lainnya, Arpen Tua Purba (29) dan Hilda Dame Ulina Pangaribuan (36), juga menerima hukuman 20 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Peran mereka dalam jaringan peredaran ekstasi ini dianggap signifikan oleh majelis hakim. Sementara itu, Mhd Syahrul Savawi alias Dodi (43), yang bertanggung jawab atas pengadaan alat cetak dan pemasaran ekstasi, divonis penjara seumur hidup. Putusan ini menunjukkan perbedaan pertimbangan hakim terhadap tingkat keterlibatan masing-masing terdakwa dalam operasi ilegal tersebut. Menarik untuk dicatat bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya menuntut hukuman mati bagi Hendrik Kusomo dan Dodi, serta hukuman seumur hidup bagi Arpen, Hilda dan Debby Kent. Namun, majelis hakim memutuskan vonis yang berbeda, mencerminkan proses pertimbangan yang komprehensif.

Kronologi Pengungkapan Kasus:

Penggerebekan yang dilakukan pada 11 Juni 2024 oleh Dittipidnarkoba Bareskrim Polri bersama Polda Sumut di sebuah rumah toko (ruko) di Jalan Kapten Jumhana mengungkap keberadaan pabrik ekstasi tersebut. Petugas berhasil menyita barang bukti yang signifikan, antara lain:

  • Alat cetak ekstasi
  • Bahan kimia padat sebanyak 8,96 kg
  • Bahan kimia cair 218,5 liter
  • Mephedrone serbuk 532,92 gram
  • 635 butir ekstasi
  • Berbagai bahan kimia prekursor dan peralatan laboratorium

Hasil interogasi terhadap para terdakwa menunjukkan bahwa pabrik tersebut telah beroperasi selama enam bulan dan memasarkan produknya ke sejumlah diskotek di Sumatera Utara, termasuk di Pematangsiantar. Hendrik dan Debby berperan sebagai pemilik dan pengelola, sementara Syahrul mengurus pengadaan alat dan pemasaran, Hilda memesan ekstasi, dan Arpen bertindak sebagai kurir. Kasus ini menjadi bukti nyata tantangan dalam memberantas peredaran gelap narkotika dan betapa luasnya jaringan yang terlibat dalam kejahatan transnasional ini. Vonis yang dijatuhkan diharapkan menjadi efek jera dan langkah konkret dalam upaya memerangi peredaran narkotika di Indonesia. Proses hukum yang telah berjalan ini juga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat akan bahaya peredaran gelap narkotika dan konsekuensi hukum yang berat bagi para pelakunya.