Kreator Konten di Palangka Raya Dikenai Sanksi Adat Usai Parodikan Gubernur Kalimantan Tengah

Seorang kreator konten asal Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng), bernama Saifullah alias Saif Hola (33), baru-baru ini menghadapi konsekuensi adat setelah membuat dan mengunggah video parodi yang menampilkan adegan wawancara antara wartawan dengan Gubernur Kalteng, Agustiar Sabran. Akibat konten parodi tersebut, Saifullah dijatuhi denda adat sebesar Rp 20 juta.

Kasus ini bermula ketika Saifullah membuat video parodi yang dianggap menyinggung dan tidak menghormati tokoh publik serta adat istiadat setempat. Video tersebut kemudian viral dan memicu reaksi dari berbagai pihak, termasuk Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng. DAD Kalteng kemudian menggelar sidang adat untuk membahas dan memutuskan sanksi yang sesuai terhadap Saifullah.

Sidang adat yang dipimpin oleh Ketua Majelis Sidang Adat Basara Hai, Wawan Embang, berlangsung sejak pekan lalu. Dalam sidang tersebut, Saifullah mengakui kesalahannya dan menyatakan penyesalannya atas perbuatannya. Pengakuan jujur dan sikap kooperatif Saifullah menjadi salah satu faktor yang meringankan hukumannya.

Menurut Wawan Embang, awalnya Saifullah dituntut membayar denda sebesar 230 kati ramu oleh pandawa. Namun, setelah melalui pertimbangan matang, Majelis Sidang Adat Basara Hai memutuskan untuk menurunkan denda menjadi 90 kati ramu, yang setara dengan Rp 20 juta. Keputusan ini didasarkan pada beberapa faktor, antara lain:

  • Kejujuran Saifullah dalam mengakui kesalahan secara terbuka.
  • Sikap sopan dan tidak berbelit-belit selama proses persidangan.
  • Kooperatif dalam memberikan keterangan dan mengikuti jalannya sidang.
  • Tidak pernah melanggar hukum adat maupun hukum positif sebelumnya.
  • Keberanian Saifullah mengakui bahwa konten parodi tersebut dibuat dengan sengaja.

Wawan Embang menjelaskan bahwa uang denda yang dibayarkan oleh Saifullah akan digunakan untuk beberapa keperluan, antara lain biaya sidang dan sebagian akan dikembalikan kepada pandawa sebagai perwakilan masyarakat adat Dayak di kota Palangka Raya. Ia juga menegaskan bahwa penggunaan uang denda tersebut akan diprioritaskan untuk hal-hal yang positif dan membangun masyarakat.

Keputusan Majelis Sidang Adat Basara Hai dalam kasus ini didasarkan pada sejumlah peraturan dan landasan hukum adat, antara lain:

  • Pumpung Hai Tumbang Anoi 1994 yang terdiri dari 96 pasal.
  • Perda Provinsi Kalteng Nomor 16 Tahun 2008.
  • Perda Provinsi Kalteng Nomor 1 Tahun 2010.
  • Peraturan DAD Kalteng Nomor 1 Tahun 2015.
  • Perda Provinsi Kalteng Nomor 2 Tahun 2024.
  • Perda Kota Palangka Raya Nomor 15 Tahun 2009.

Wawan Embang berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak, khususnya para kreator konten, untuk lebih berhati-hati dan menghormati adat istiadat serta nilai-nilai luhur yang berlaku di masyarakat. Ia juga mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama menjaga harkat dan martabat adat Dayak serta menerapkan filosofi Belom Badahat (hidup menjunjung tinggi adat istiadat) dan falsafah Huma Betang (toleransi dan saling menghargai).

Kasus ini menjadi sorotan karena menyoroti batasan kebebasan berekspresi di ranah digital, terutama ketika bersinggungan dengan nilai-nilai adat dan norma sosial yang berlaku di suatu daerah. Putusan denda adat ini juga menunjukkan bahwa hukum adat masih memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa dan menjaga keseimbangan sosial di masyarakat Dayak.