Perjuangan Pencari Kerja di Indonesia: Antara Harapan dan Realitas Pasar Kerja

Indonesia masih bergulat dengan isu pengangguran yang signifikan, sebuah tantangan yang tercermin dalam kisah-kisah individu yang mencari nafkah di tengah pasar kerja yang kompetitif.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024, terdapat 7,5 juta penduduk Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan. Jumlah ini setara dengan 5,2% dari total populasi dan menjadi angka pengangguran tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, mengungkapkan bahwa mayoritas penganggur berasal dari kalangan lulusan SMA/SMK (3 juta) dan SMP (2,5 juta).

Kondisi ini mendorong banyak orang untuk mencari peluang melalui berbagai cara, termasuk menghadiri job fair yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Namun, di balik hiruk pikuk bursa kerja, terdapat cerita-cerita perjuangan yang menyentuh.

Kisah Para Pencari Kerja

  • Cholis (48): Mantan karyawan ritel yang telah bekerja selama 14 tahun, kini kembali mencari pekerjaan demi menafkahi tiga anaknya. Usahanya di bidang air isi ulang bersama istri belum mencukupi kebutuhan keluarga. Usia menjadi kendala utama, karena banyak perusahaan membatasi usia pelamar.

  • Azzah (23): Lulusan Manajemen SDM Aparatur, telah aktif melamar pekerjaan sejak November 2024, namun belum berhasil mendapatkan pekerjaan tetap. Ia merasakan perbedaan signifikan dibandingkan setelah lulus SMA, di mana mencari pekerjaan jauh lebih mudah. Azzah memanfaatkan platform digital dan job fair dalam usahanya.

  • Nova (24), Caca (23), dan Jaya (30): Mereka memilih fleksibilitas dengan bersedia bekerja di luar bidang keahlian mereka. Namun, mereka juga menghadapi kendala, seperti persyaratan yang tidak realistis, batasan usia, dan kurangnya feedback dari perusahaan setelah melamar.

Mencari Peluang di Luar Negeri dan Berwirausaha

Peluang kerja di luar negeri, seperti di Jepang, menjadi daya tarik bagi sebagian pencari kerja. Jepang dikabarkan membuka kuota besar bagi pekerja Indonesia. Niko (30) melihat peluang ini sebagai solusi realistis, sementara Jaya (30) tertarik namun terkendala kurangnya koneksi.

Sebagian pencari kerja juga mempertimbangkan jalur alternatif, seperti wirausaha dan freelance. Rifki (24) berencana membuka usaha makanan dan minuman, sementara Nova (24) mencoba mengembangkan toko kelontong milik ibunya. Jaya (30) dan Niko (30) mencoba bertahan di dunia freelance dengan menawarkan jasa di bidang TI dan pengelolaan data berbasis AI, namun menghadapi persaingan global dan perkembangan teknologi yang pesat.

Tantangan dan Harapan

Kisah-kisah ini menyoroti tantangan yang dihadapi pencari kerja di Indonesia. Fleksibilitas, semangat belajar, dan keinginan untuk bertahan tidak selalu diimbangi dengan kebijakan yang mendukung dan perekrutan yang inklusif. Batasan usia, kurangnya feedback dari perusahaan, dan kurangnya apresiasi terhadap pengalaman kerja menjadi hambatan nyata.

Job fair dapat menjadi solusi sementara, tetapi untuk membangun masa depan tenaga kerja Indonesia, diperlukan reformasi kebijakan rekrutmen, pelatihan kerja yang adaptif, serta perubahan cara pandang terhadap pekerja dari berbagai latar belakang.

Di balik angka-angka statistik, terdapat individu-individu yang berjuang dengan harapan dan mimpi untuk kehidupan yang lebih baik.