Sengketa Lahan Ulayat di Pesisir Selatan: Masyarakat Adat Mengadu ke Parlemen
Polemik terkait status tanah ulayat di Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Sumatera Barat, memasuki babak baru. Para ninik mamak dari wilayah Inderapura, Air Pura, dan Pancung Soal, mengadukan permasalahan ini kepada Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade. Mereka mengeluhkan perubahan status tanah adat menjadi kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dan hutan lindung, yang berdampak pada aktivitas perkebunan kelapa sawit yang telah lama mereka lakukan.
Dalam pertemuan yang berlangsung di Padang, perwakilan ninik mamak, Kamil Indra, mengungkapkan bahwa masyarakat telah menggarap lahan tersebut sejak tahun 2000. Namun, permasalahan baru muncul pada tahun 2021 ketika pihak Kehutanan mempermasalahkan aktivitas tersebut. Padahal, kebun kelapa sawit milik masyarakat telah menghasilkan panen dalam kurun waktu yang cukup lama. Persoalan ini semakin kompleks dengan adanya penetapan tersangka terhadap beberapa petani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Sumbar.
Kamil Indra menjelaskan bahwa dulunya kawasan hutan Inderapura merupakan hutan ulayat. Perubahan status menjadi hutan lindung dan HPK terjadi pada tahun 1992, saat negara membutuhkan lahan pengganti untuk pembangunan PLTA Koto Panjang di Riau. Perubahan status ini, menurut Kamil, kurang disosialisasikan kepada masyarakat sehingga menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
Lebih lanjut, Kamil merinci bahwa kawasan hutan lindung yang ditetapkan mencapai sekitar 7.000 hektare, membentang di sepanjang pantai dari Pasir Ganting hingga Silaut. Sementara itu, kawasan HPK seluas 14.000 hektare berada di wilayah Pancung Soal, Basa Ampek Balai Tapan, dan Lunang. Ironisnya, kawasan hutan lindung dan HPK ini berbatasan langsung dengan lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Incasi Raya Grup.
Para ninik mamak merasa diperlakukan tidak adil karena perusahaan dapat memperoleh HGU atas lahan tersebut, sementara masyarakat adat yang telah lama menggarap lahan justru terancam kriminalisasi. Kamil Indra menegaskan bahwa selama proses penggarapan lahan sejak tahun 2000, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa lahan tersebut merupakan kawasan hutan, baik berupa tanda batas maupun plang informasi. Sosialisasi mengenai status lahan baru dilakukan pada tahun 2021, dua dekade setelah masyarakat mulai bercocok tanam.
Pada tahun 2022, ninik mamak Inderapura telah mengajukan keberatan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Polri. Sempat mereda, razia kembali dilakukan oleh Ditkrimsus Polda Sumbar pada awal Februari 2025, yang berujung pada penetapan tiga orang masyarakat sebagai tersangka.
Menanggapi keluhan tersebut, Kepala ATR/BPN Sumbar, Teddi Guspriadi, menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di Sumatera Barat. Ia menjelaskan bahwa langkah awal untuk mengembalikan status tanah ulayat harus dimulai dari pengajuan usulan oleh Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kepada Kementerian Kehutanan. Teddi menambahkan bahwa sertifikasi oleh BPN baru dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Kementerian Kehutanan, dengan mempertimbangkan adanya lahan pengganti untuk menjaga luas hutan lindung.
Andre Rosiade menegaskan perlunya pengajuan surat permohonan dari Pemkab Pessel dan Pemprov Sumbar kepada Kementerian Kehutanan. Ia berjanji akan mengkomunikasikan permasalahan ini dengan Menteri Kehutanan dan Kapolda Sumbar untuk mencari solusi terbaik, termasuk mempertimbangkan penyelesaian kasus hukum melalui pendekatan Restorative Justice.
Berikut beberapa poin penting yang mengemuka dalam pertemuan tersebut:
- Masyarakat adat mengeluhkan perubahan status tanah ulayat menjadi hutan lindung dan HPK.
- Masyarakat telah menggarap lahan sejak tahun 2000, namun baru dipermasalahkan pada tahun 2021.
- Penetapan tersangka terhadap beberapa petani oleh Ditkrimsus Polda Sumbar.
- Perubahan status hutan ulayat menjadi hutan lindung dan HPK terjadi pada tahun 1992.
- Kawasan hutan lindung dan HPK berbatasan dengan lahan HGU PT Incasi Raya Grup.
- Ninik mamak merasa diperlakukan tidak adil karena perusahaan dapat memperoleh HGU.
- Kepala ATR/BPN Sumbar berkomitmen memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
- Andre Rosiade akan mengkomunikasikan permasalahan ini dengan Menteri Kehutanan dan Kapolda Sumbar.