Polemik Penahanan Ijazah Karyawan oleh Perusahaan: Tinjauan Hukum dan Alternatif Solusi
Fenomena penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan kembali mencuat ke permukaan, memicu perdebatan mengenai legalitas dan etika praktik tersebut. Kasus-kasus yang terungkap di berbagai daerah, seperti Surabaya dan Pekanbaru, menjadi sorotan dan menimbulkan pertanyaan, apakah perusahaan memiliki hak untuk menahan ijazah karyawannya?
Praktik penahanan ijazah kerap kali menjadi syarat yang diajukan perusahaan kepada calon karyawan. Tujuannya, diklaim sebagai jaminan agar karyawan tidak mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir. Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Sebagian pencari kerja memilih untuk mundur daripada menyerahkan ijazah mereka, sementara yang lain terpaksa menerima demi mendapatkan pekerjaan.
Lantas, bagaimana hukum mengatur praktik penahanan ijazah ini? Menurut pakar Career Development, Audi Lumbantoruan, Undang-Undang Ketenagakerjaan secara eksplisit tidak mengatur mengenai penahanan ijazah. Hal ini seringkali dimanfaatkan perusahaan untuk berdalih bahwa tindakan tersebut tidak melanggar hukum. Namun, Audi menekankan bahwa aspek legalitas praktik ini sangat bergantung pada adanya kesepakatan antara perusahaan dan karyawan.
Kesepakatan tersebut idealnya dituangkan dalam perjanjian kerja (PKWT atau PKWTT) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sayangnya, dalam praktiknya, penahanan ijazah seringkali hanya didasarkan pada kesepakatan lisan. Audi menyarankan agar klausul penahanan ijazah dikomunikasikan secara jelas di awal proses rekrutmen dan dicantumkan dalam perjanjian kerja, bukan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Audi juga mengkritik praktik penahanan ijazah sebagai pendekatan yang kuno dan kurang efektif. Ia berpendapat bahwa perusahaan modern seharusnya beralih ke sistem bonding dengan penalti yang jelas jika karyawan memutuskan untuk keluar sebelum masa kontrak berakhir. Penahanan ijazah dinilai merugikan karyawan karena menempatkan mereka pada posisi tawar yang lemah. Selain itu, perusahaan juga berisiko dituntut jika ijazah hilang, rusak, atau terkena bencana.
Alih-alih menahan ijazah, Audi menyarankan perusahaan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait Sumber Daya Manusia (SDM). Tingginya angka turnover karyawan mengindikasikan adanya masalah yang perlu diperbaiki, seperti lingkungan kerja yang tidak kondusif, manajemen yang buruk, atau kurangnya daya saing perusahaan. Evaluasi dan perbaikan pada aspek-aspek ini akan lebih efektif dalam meningkatkan retensi karyawan.
Senada dengan Audi, konsultan hukum Yulius Setiarto dari Setiarto dan Pangestu Law Firm menjelaskan bahwa hak perusahaan untuk menahan ijazah sebenarnya lahir dari perjanjian atau kesepakatan kerja, bukan dari peraturan ketenagakerjaan. Kesepakatan inilah yang seringkali membuat kontrak kerja melanggar hukum dan merugikan karyawan. Yulius mengingatkan karyawan untuk berhati-hati terhadap kontrak kerja yang hanya didasarkan pada kesepakatan bersama, bukan pada undang-undang ketenagakerjaan, karena risikonya jauh lebih besar.
Sebagai penutup, para pencari kerja dihimbau untuk lebih teliti dalam membaca perjanjian kerja, terutama jika ada klausul mengenai penahanan ijazah. Hal ini penting untuk menghindari kerugian di kemudian hari, seperti terkena denda atau kesulitan dalam mencari pekerjaan lain. Kebijakan menahan ijazah, meskipun tidak secara langsung melanggar undang-undang, dapat menjadi indikasi adanya masalah dalam budaya perusahaan dan perlu dipertimbangkan secara matang sebelum menerima tawaran pekerjaan.