Evaluasi Pemekaran Daerah: Antara Kebutuhan Nyata dan Nostalgia Semu
Pemekaran daerah di Indonesia, yang seringkali didorong oleh romantisme sejarah, perlu dievaluasi secara mendalam. Alih-alih memperkuat otonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemekaran kerap kali hanya menciptakan urbanisme administratif semu dan ketergantungan fiskal pada pemerintah pusat.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemekaran daerah belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Daerah-daerah otonom baru seringkali gagal mencapai kemandirian fiskal dan terus bergantung pada transfer anggaran dari pusat. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mengenai efektivitas pemekaran dan mendorong wacana konsolidasi kewilayahan.
Konsolidasi Kewilayahan Sebagai Alternatif
Konsolidasi kewilayahan, dengan menggabungkan desa, kecamatan, atau bahkan kabupaten/kota kecil, dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kapasitas administratif dan efisiensi pelayanan publik. Struktur kolaboratif regional akan membantu daerah-daerah kecil yang kesulitan bersaing dalam menarik investasi, membangun infrastruktur, dan mengembangkan sumber daya manusia. Selain itu, konsolidasi dapat mencegah fragmentasi yang sering dimanfaatkan sebagai "waralaba kekuasaan" oleh aktor politik.
Romantisme Sejarah: Dalih atau Realitas?
Seringkali, pemekaran daerah didasarkan pada romantisme sejarah atau nostalgia masa lalu, alih-alih kebutuhan administratif, pertimbangan fiskal, dan logika pembangunan. Elite lokal memanfaatkan khayalan tentang kejayaan masa lalu untuk membangkitkan kebanggaan kolektif, menarik investasi, dan menyejahterakan rakyat. Namun, kenyataannya, banyak daerah hasil pemekaran justru menghadapi masalah infrastruktur, pelayanan publik yang buruk, dan anggaran yang habis untuk gaji pegawai.
Wilayah yang pernah menjadi pusat pemerintahan di masa lalu bukanlah alasan yang valid untuk dimekarkan menjadi daerah otonom. Tata negara modern menuntut logika pelayanan, efisiensi fiskal, dan perencanaan jangka panjang, bukan pengulangan sejarah yang tidak relevan. Mengatur masa depan dengan "kacamata spion" dapat menyebabkan kesalahan tata kelola.
Identitas yang ditarik dari masa lalu, tanpa mempertimbangkan kebutuhan saat ini, hanya akan menjadi komoditas politik yang dieksploitasi saat pemilihan kepala daerah. Bahkan, di beberapa kasus, narasi nostalgia masa lalu digunakan untuk membenarkan pemisahan diri dari kelompok etnis atau agama lain, memicu konflik horizontal dan fragmentasi sosial.
Data dan Realita
Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa mayoritas daerah hasil pemekaran bergantung pada dana transfer pusat, dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang minim, indeks pembangunan manusia (IPM) yang stagnan, dan angka kemiskinan yang tidak menurun signifikan. Romantisme sejarah tidak dapat menggantikan kebutuhan dasar masyarakat seperti beras, sekolah, atau puskesmas.
Pemekaran atas dasar romantisme sejarah seringkali menjadi proyek elite yang tidak partisipatif, penuh lobi, dan disponsori oleh politisi yang melihatnya sebagai proyek kekuasaan. Masyarakat yang menolak pemekaran sering dituduh menolak sejarah leluhur mereka sendiri.
Pemekaran daerah seharusnya didasarkan pada evaluasi kinerja pelayanan publik, potensi fiskal, kesiapan birokrasi, dan kebutuhan masyarakat, bukan rekayasa sejarah dan politik identitas. Kebijakan pemekaran yang tidak cermat akan menghasilkan daerah-daerah yang kuat dalam nostalgia, tetapi lumpuh dalam logistik.
Perlu keberanian untuk mengakui bahwa tidak semua daerah layak dimekarkan dan tidak semua memori sejarah layak dijadikan argumen kebijakan. Sejarah penting sebagai narasi identitas, tetapi tidak bisa menjadi cetak biru tata kelola negara. Negara tidak boleh "dibelah" demi nostalgia masa lalu dan dibangun dengan ilusi masa lampau.
- Evaluasi Kinerja Pelayanan Publik: Pemekaran harus didasarkan pada peningkatan pelayanan publik yang terukur.
- Potensi Fiskal yang Realistis: Daerah yang dimekarkan harus memiliki potensi fiskal yang memadai untuk mandiri.
- Kesiapan Birokrasi: Aparatur sipil negara harus siap dan kompeten untuk menjalankan pemerintahan di daerah baru.
- Kebutuhan Masyarakat yang Teridentifikasi: Pemekaran harus menjawab kebutuhan nyata masyarakat, bukan hanya ambisi politik.
Tanpa evaluasi yang komprehensif dan penataan ulang yang cermat, kebijakan pemekaran daerah berpotensi menghasilkan ratusan kabupaten yang terperangkap dalam nostalgia sejarah, namun gagal memenuhi kebutuhan riil masyarakat. Diperlukan keberanian untuk mengakui bahwa tidak semua wilayah cocok untuk dimekarkan, dan tidak semua memori sejarah dapat dijadikan dasar kebijakan publik.