Sidang Korupsi Mantan Wali Kota Semarang: Saksi Ungkap Dugaan Upaya Penghilangan Barang Bukti

Sidang kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, atau yang akrab disapa Mbak Ita, dan suaminya, Alwin Basri, kembali menjadi sorotan. Dalam persidangan yang digelar, mantan Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang, Eko Yuniarto, memberikan keterangan yang cukup mengejutkan. Ia mengaku pernah diminta untuk menghilangkan barang bukti berupa telepon seluler dan menghapus catatan transaksi transfer.

Kesaksian Eko terungkap dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Semarang. Eko menjelaskan bahwa dirinya pernah diundang oleh Alwin Basri, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, ke ruang kerjanya. Dalam pertemuan tersebut, Alwin diduga meminta Eko dan beberapa camat lainnya untuk menghapus riwayat percakapan di telepon seluler mereka yang berkaitan dengan transfer dana.

"Beliau mengundang kami di ruang komisi D, di ruang kerja beliau menyampaikan agar chat HP yang berkaitan dengan transfer agar dihapus," ungkap Eko di hadapan majelis hakim.

Namun, Eko menegaskan bahwa dirinya tidak pernah melakukan transfer apapun kepada Alwin, sehingga ia tidak mengindahkan permintaan tersebut. "Perintah bapak, itu untuk menghapus, tetapi kami kan tidak ada transfer sehingga kami tidak menghapus apapun," jelasnya.

Selain itu, Eko juga mengungkapkan bahwa Mbak Ita, saat menjabat sebagai Wali Kota Semarang, pernah meminta agar para camat membuang telepon seluler mereka. Permintaan ini diduga terkait dengan temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai adanya kontrak yang seharusnya tidak dibayarkan, atau penyimpangan penggunaan dana dari proyek-proyek kecamatan.

"Intinya HP kami diperintahkan untuk dibuang karena mungkin oleh Bu Wali Kota pada waktu itu menyarankan karena mungkin ada hubungannya dengan kejadian pemeriksaan dengan BPK," terangnya. "Supaya bisa dihilangkan dalam arti dengan membuang HP tersebut dan diganti HP baru, tetapi nomor tetap, handphone-nya ganti," lanjutnya.

Tidak hanya itu, Eko juga mengaku pernah diminta oleh Mbak Ita untuk tidak menghadiri panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kantor BPK Jawa Tengah. Mbak Ita, menurut Eko, mengklaim telah melakukan "pengkondisian" terkait dengan pemanggilan tersebut.

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi dengan total mencapai Rp 2,24 miliar, yang juga diterima oleh Martono. Dana tersebut diduga berasal dari pekerjaan proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung.

"Jumlah keseluruhan Rp 2,24 miliar dengan rincian Terdakwa I dan Terdakwa II menerima Rp 2 miliar dan Martono menerima Rp 245 juta," kata JPU dari KPK, Rio Vernika Putra di Pengadilan Tipikor Semarang.

Dana tersebut diduga berasal dari sejumlah pihak, termasuk Suwarno, Gatot Sunarto, Ade Bhakti, Hening Kirono, Siswoyo, Sapta Marnugroho, Eny Setyawati, Zulfigar, Ari Hidayat, dan Damsrin.

Selain dugaan penerimaan gratifikasi, Mbak Ita dan Alwin juga didakwa menerima suap dari proyek pengadaan barang dan jasa senilai Rp 3,75 miliar, serta didakwa melakukan pemotongan pembayaran kepada pegawai negeri senilai Rp 3 miliar. Kasus ini terus bergulir dan menjadi perhatian publik, mengingat implikasinya terhadap tata kelola pemerintahan di Kota Semarang.