Pembongkaran Hibisc Fantasy: Gubernur Jabar Jelaskan Mekanisme Ganti Rugi dan Izin Pembangunan
Pembongkaran Hibisc Fantasy dan Pertanyaan Ganti Rugi
Proses pembongkaran bangunan di kawasan wisata Hibisc Fantasy di Puncak, Bogor, telah memasuki tahap pelaksanaan. Langkah ini menimbulkan pertanyaan publik terkait mekanisme ganti rugi bagi para pemodal yang berinvestasi di area tersebut. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memberikan klarifikasi terkait hal ini dan menjelaskan keterlibatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) dalam proyek tersebut. Beliau menekankan bahwa Pemprov Jabar, melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Jaswita, berperan sebagai penyelenggara, bukan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kerugian para pemodal.
Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa hubungan antara BUMD dan para pemodal merupakan kesepakatan bisnis yang terpisah dari kewenangan Pemprov Jabar. Beliau menegaskan bahwa Pemprov Jabar tidak terlibat langsung dalam pendanaan pembangunan Hibisc Fantasy. “Perusahaan yang menyelenggarakan ini adalah BUMD, anak perusahaan PT Jaswita. Jika ada kaitan dengan Pemprov, berarti ada uang Pemprov yang digunakan untuk pembangunan ini, yang akan merugikan para pemodal,” ujar Dedi Mulyadi kepada wartawan di lokasi pembongkaran, Jumat (7/3/2025). Oleh karena itu, mekanisme ganti rugi, jika ada, sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan pengembang dan para pemodal berdasarkan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. “Itu urusan mereka, perjanjiannya seperti apa, kita tidak tahu. Perjanjian perusahaan pengembang dengan para pemodal, termasuk mengenai tanggung jawab atas bencana alam atau kebakaran, menjadi tanggung jawab siapa, saya belum tahu,” tambahnya.
Izin Bangunan dan Risiko Lingkungan
Lebih lanjut, Gubernur Dedi Mulyadi menjelaskan aspek perizinan dan risiko lingkungan yang terkait dengan pembangunan Hibisc Fantasy. Dari 35 bangunan di kawasan tersebut, hanya 14 bangunan yang memiliki izin resmi dari Pemerintah Kabupaten Bogor. “Hari ini, yang bisa dilakukan Pemprov Jabar adalah memitigasi pelanggaran yang terjadi dari sisi aspek dan pembangunan,” tegas Dedi. Beliau juga menekankan bahwa risiko pembangunan yang tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dugaan penyebab banjir dan kematian akibat banjir, merupakan tanggung jawab perusahaan pengembang. “Risiko yang harus ditanggung dari pembangunan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pengelolaan lingkungan hidup, yang menimbulkan dugaan terjadinya banjir dan kematian akibat banjir, itu merupakan risiko yang harus ditanggung perusahaan,” jelasnya.
Kesimpulan
Kesimpulannya, pembongkaran Hibisc Fantasy merupakan konsekuensi dari pelanggaran perizinan dan potensi pelanggaran lingkungan hidup. Gubernur Dedi Mulyadi menekankan bahwa Pemprov Jabar tidak bertanggung jawab atas kerugian para pemodal, dan mekanisme ganti rugi sepenuhnya menjadi urusan antara perusahaan pengembang dan para investor berdasarkan perjanjian yang telah disepakati. Ketidaksesuaian jumlah bangunan dengan izin yang dimiliki menjadi sorotan penting dalam kasus ini, yang menunjukkan pentingnya pengawasan dan kepatuhan terhadap regulasi pembangunan dan lingkungan hidup.