Perebutan Takhta Suci: Konklaf, Politik, dan Layar Lebar
Setelah Paus Fransiskus berpulang pada 21 April, mata dunia tertuju pada Vatikan, tempat para kardinal berkumpul untuk memilih pemimpin baru Gereja Katolik. Proses pemilihan yang dikenal sebagai konklaf ini, sebuah tradisi tertutup yang sarat akan sejarah dan intrik, kini menjadi sorotan publik.
Konklaf, yang diadakan di dalam Kapel Sistina, merupakan ritual sakral di mana para kardinal dari seluruh dunia berupaya memilih penerus takhta Santo Petrus. Namun, di balik kesakralan tersebut, tersembunyi dinamika politik dan perebutan pengaruh yang telah menjadi daya tarik tersendiri selama berabad-abad. Kisah-kisah tentang konklaf sering kali dipenuhi dengan spekulasi, intrik, dan interpretasi artistik, menjadikannya lahan subur bagi imajinasi para penulis dan pembuat film.
Bahkan Paus Fransiskus sendiri, dalam memoarnya yang terbit pada tahun 2024, mengungkapkan intrik yang terjadi di balik layar pemilihan Paus Benediktus XVI pada tahun 2005. Ia menceritakan bagaimana beberapa kardinal berusaha menghalangi terpilihnya Benediktus, dan bagaimana ia sendiri diminta untuk mengalihkan suara dari kardinal asal Jerman tersebut. Pada akhirnya, Fransiskus memilih untuk mengundurkan diri dari pencalonan dan mendukung Benediktus.
Ketertarikan akan intrik di balik konklaf ini juga menginspirasi penulis Inggris, Robert Harris, untuk menulis novel berjudul "Conclave" yang dirilis pada tahun 2016. Dalam wawancaranya, Harris mengungkapkan ketertarikannya pada pemilihan tertutup dan kerangka waktu yang singkat dalam konklaf. Ia menyebutnya sebagai "kisah yang sempurna" dan heran mengapa tidak ada yang pernah menulis tentangnya sebelumnya.
Novel "Conclave" berfokus pada dekan Dewan Kardinal yang bertanggung jawab atas pemilihan Paus, serta peran di balik layar, agenda tersembunyi, kebocoran suara, dan upaya untuk mencapai mayoritas dua pertiga suara yang diperlukan untuk memilih seorang Paus. Harris, yang menyebut dirinya sebagai "pecandu politik", menggambarkan konklaf sebagai "pemilu tertinggi".
Kisah "Conclave" kemudian diadaptasi menjadi film layar lebar oleh sutradara Edward Berger dan dirilis pada tahun 2024. Film ini dibintangi oleh Ralph Fiennes sebagai dekan Dewan Kardinal dan Isabella Rossellini sebagai seorang biarawati yang membantu dalam proses pengambilan keputusan. Film ini berhasil meraih delapan nominasi Oscar, termasuk untuk film terbaik, dan menuai pujian dari para kritikus.
Namun, penggambaran konklaf dalam film tersebut juga menuai kritik. Publikasi Katolik independen Missio Dei mengecam film tersebut sebagai "penggambaran yang salah" tentang proses pemilihan Paus. Mereka berpendapat bahwa film tersebut terlalu mendramatisasi konflik internal dan menggambarkan gereja sebagai lembaga yang sarat akan politik. Menurut mereka, film tersebut menyesatkan penonton dan menanamkan stereotip negatif tentang para pemimpin gereja.
Terlepas dari kontroversi yang menyertainya, adaptasi film "Conclave" telah berhasil mengubah konklaf menjadi fenomena budaya populer, tepat sebelum pemilihan Paus pertama sejak tahun 2013.
Menjelang konklaf yang akan datang, banyak yang bertanya-tanya apakah momen politik saat ini akan memengaruhi pemilihan Paus yang baru. Robert Harris, penulis novel "Conclave", berharap bahwa moralitas Kristen akan menjadi faktor penentu dalam pemilihan tersebut. Ia menekankan bahwa gereja memiliki tujuan untuk menegakkan nilai-nilai abadi Kristen, yang berbeda dengan agenda politik dunia saat ini. Kita lihat saja nanti bagaimana konklaf akan berlangsung dan siapa yang akan terpilih sebagai pemimpin baru Gereja Katolik.