Gencatan Senjata Semu di Myanmar: Junta Militer Terus Lakukan Serangan Pasca-Gempa
Pelanggaran Gencatan Senjata di Myanmar: Kesaksian dari Medan Perang
Tragedi kemanusiaan terus menghantui Myanmar, bahkan setelah gempa bumi dahsyat mengguncang negara tersebut. Janji gencatan senjata yang diumumkan oleh junta militer, pasca-gempa berkekuatan 7,7 yang menelan ribuan korban jiwa, ternyata hanyalah ilusi belaka. Investigasi mendalam di wilayah yang dikuasai pemberontak di Negara Bagian Karenni mengungkap fakta pahit: militer Myanmar secara sistematis melanggar kesepakatan gencatan senjata, menebar teror dan kematian di kalangan warga sipil.
Kisah pilu Khala, seorang pria berusia 45 tahun yang tewas akibat serangan udara di wilayah yang seharusnya aman, menjadi simbol dari pengingkaran janji junta. Bersama istrinya, Mala, dan putra mereka, Khala berharap dapat kembali ke rumah mereka di Desa Pekin Coco setelah gencatan senjata diumumkan. Namun, harapan itu sirna ketika peluru artileri menghantam mereka, merenggut nyawa Khala di tempat kejadian. Mala, yang tengah hamil tujuh bulan, kini harus membesarkan putranya seorang diri di kamp pengungsi, dihantui oleh trauma dan kebencian.
Realita Pahit di Balik Gencatan Senjata
Kondisi di Negara Bagian Karenni, atau Kayah, mencerminkan kompleksitas konflik di Myanmar. Wilayah ini, yang sebagian besar dikendalikan oleh kelompok etnik pemberontak, menjadi medan pertempuran antara militer dan milisi sipil. Meskipun terpencil dan berhutan lebat, wilayah ini tidak luput dari serangan udara dan darat yang dilancarkan oleh junta militer. Gencatan senjata yang seharusnya memberikan ruang bagi bantuan kemanusiaan dan pemulihan pasca-gempa, justru dimanfaatkan oleh militer untuk memperkuat posisi dan menekan gerakan perlawanan.
Stefano, seorang pejuang berusia 23 tahun dari Pasukan Pertahanan Bangsa Karenni (KNDF), menyebut gencatan senjata itu sebagai "lelucon". Dari parit pertahanannya, dia menyaksikan bagaimana militer menggunakan segala cara untuk menyerang, mulai dari drone hingga artileri berat. Serangan-serangan ini tidak hanya menyasar milisi perlawanan, tetapi juga menghantam lahan pertanian dan permukiman sipil, menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka.
Dampak Gempa dan Konflik Terhadap Masyarakat
Gempa bumi yang melanda Myanmar pada bulan Maret lalu memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah ada. PBB memperkirakan bahwa gempa tersebut menyebabkan dua juta orang terlunta-lunta dan memerlukan bantuan, di samping 2,5 juta orang lainnya yang sudah menjadi pengungsi akibat konflik bersenjata. Di Negara Bagian Karenni, meskipun tidak ada korban jiwa langsung akibat gempa, rumah sakit setempat dipenuhi oleh orang-orang yang terluka atau mengalami patah tulang akibat serangan militer.
Thi Ha Tun, seorang dokter yang merawat para korban perang di sebuah rumah sakit tersembunyi di dalam hutan, mengecam kebohongan junta militer. Dia mengatakan bahwa militer hanya peduli dengan kepentingan mereka sendiri dan tidak peduli dengan penderitaan rakyat Myanmar. Satu-satunya solusi, menurutnya, adalah terus berjuang melawan kediktatoran militer.
Harapan di Tengah Keputusasaan
Di tengah kehancuran dan penderitaan, masih ada secercah harapan. Gereja Hati Kudus Yesus, yang terletak di sebuah dataran tinggi dan dikuasai oleh pemberontak, menjadi simbol ketahanan dan iman. Meskipun menara gereja runtuh akibat gempa, jemaat tetap berkumpul untuk berdoa dan mencari kekuatan. Pastor Philip, romo setempat, mengatakan bahwa ancaman terbesar bagi jemaatnya berasal dari 'atas', yaitu dari jet tempur yang setiap saat dapat menjatuhkan bom.
Kembali ke garis depan Mobeye, Stefano dan anak buahnya terus berjuang melawan kediktatoran militer. Mereka membersihkan senjata, menyanyikan lagu-lagu perjuangan, dan bertekad untuk mengalahkan junta. Bagi mereka, satu-satunya gencatan senjata yang mereka percayai adalah kekalahan junta.
Dengan berakhirnya masa gencatan senjata pada akhir bulan ini, masa depan Myanmar masih suram. Namun, semangat perlawanan dan harapan akan perdamaian tetap menyala di hati rakyat Myanmar.