Bea Cukai Tanggapi Kritik AS: Kebijakan Kami Sudah Update!

Kritik yang dilayangkan oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan terkait dugaan hambatan perdagangan antara AS dan Indonesia mendapatkan respons langsung dari pucuk pimpinan DJBC.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima sejumlah catatan dari USTR, terutama yang berkaitan dengan bidang kepabeanan. Namun, Askolani menegaskan bahwa banyak dari keluhan tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi terkini.

"Kami melihat concern yang disampaikan USTR itu banyak yang tidak update," ujarnya, Rabu (30/4/2025).

Askolani memberikan contoh konkret terkait keluhan mengenai nilai pabean. Ia menjelaskan bahwa DJBC saat ini tidak lagi menggunakan tarif tunggal, melainkan menerapkan rentang harga atau range. Kebijakan ini, menurutnya, memastikan bahwa penentuan nilai pabean didasarkan pada bukti dokumen yang valid dan bukan berdasarkan pengenaan satu nilai pabean yang kaku.

Lebih lanjut, Askolani menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia secara rutin menyampaikan pembaruan kebijakan kepabeanan kepada World Trade Organization (WTO). Meskipun pembaruan secara berkala tidak langsung disampaikan kepada USTR, pemerintah aktif berinteraksi dan bertukar informasi dengan US-Asean Business Council (US-ABC), sebuah organisasi yang mewakili kepentingan pengusaha di Amerika Serikat.

"US-ABC tidak juga menanyakan yang tadi menjadi catatan dari USTR yang sudah kami perbarui kondisinya," imbuhnya.

Selain US-ABC, DJBC juga menjalin komunikasi rutin dengan US Chamber untuk memastikan bahwa kebijakan di Indonesia tidak menghambat kelancaran perdagangan. Terkait potensi dampak tarif resiprokal, Askolani memilih untuk menunggu hasil negosiasi yang sedang berlangsung antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat. Ia menekankan bahwa pemerintah telah menyiapkan berbagai opsi kebijakan yang akan diambil, dan implikasinya akan dihitung setelah keputusan final diambil.

Sebelumnya, USTR menyoroti beberapa hal, di antaranya:

  • Pejabat Bea Cukai Indonesia dinilai lebih sering menggunakan jadwal harga referensi daripada nilai transaksi sebagai metode penilaian utama, yang bertentangan dengan Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) WTO.
  • Eksportir AS melaporkan inkonsistensi dalam penentuan nilai bea masuk di berbagai wilayah untuk produk yang sama.
  • USTR juga menyoroti ketentuan imbalan atau 'bonus' bagi petugas bea cukai Indonesia, yang mencapai hingga 50% dari nilai barang yang disita atau dari jumlah bea yang terutang. Sistem insentif ini dinilai berpotensi menimbulkan praktik korupsi, beban biaya administrasi yang tinggi, serta kurangnya transparansi.

USTR mencatat bahwa Indonesia adalah salah satu dari sedikit mitra dagang utama AS yang masih menerapkan sistem insentif semacam itu dan telah menyampaikan kekhawatiran ini ke Komite Fasilitasi Perdagangan WTO sejak Juni 2023.