Hari Buruh: Antara Janji Manis dan Realita Pahit Pekerja Indonesia
Hari Buruh: Antara Janji Manis dan Realita Pahit Pekerja Indonesia
Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional, sebuah momentum untuk merefleksikan hak-hak pekerja dan kondisi perburuhan secara global. Di Indonesia, perayaan ini kembali menjadi sorotan, diwarnai harapan sekaligus kekecewaan terhadap realita yang masih jauh dari ideal. Tahun ini, kehadiran Presiden dalam peringatan di Monas menjadi simbol harapan baru, namun pertanyaan besar tetap menggantung: apakah kehadiran ini akan membawa perubahan substansial atau hanya menjadi seremoni belaka?
Monas, seperti tahun-tahun sebelumnya, dipenuhi oleh ribuan buruh yang menyuarakan aspirasi mereka. Tuntutan klasik seperti upah layak, penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing, serta perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pekerja kembali menggema. Di tengah gegap gempita perayaan, suara-suara pekerja informal dan mereka yang bekerja tanpa jaminan sosial seringkali tenggelam. Mereka adalah bagian terbesar dari angkatan kerja Indonesia, namun kerap kali terabaikan dalam kebijakan dan regulasi.
Tuntutan Klasik yang Belum Terjawab
Serikat-serikat buruh kembali mengangkat isu-isu krusial, termasuk:
- Penghapusan outsourcing
- Revisi sistem pengupahan yang lebih adil
- Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK
- Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT)
- Peningkatan jaminan sosial
- Percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset
Tuntutan-tuntutan ini bukan hal baru. Sudah bertahun-tahun disuarakan, namun belum juga mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan. Ironi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari peringatan Hari Buruh di Indonesia: semangat di panggung, namun minim implementasi di ruang kebijakan.
Realitas Buruh yang Rentan
Kondisi pekerja di Indonesia masih memprihatinkan. Banyak yang terjebak dalam pekerjaan informal dengan upah rendah, tanpa kontrak tetap, dan tanpa perlindungan jaminan sosial. Mereka bekerja di berbagai sektor, mulai dari logistik, perdagangan, pertanian, hingga pekerja rumah tangga. Kelompok ini merupakan mayoritas, namun seringkali suaranya tidak terwakili.
Pekerja formal pun tidak sepenuhnya aman. Mereka menghadapi sistem kerja kontrak jangka pendek, jam kerja panjang tanpa upah lembur yang layak, dan tekanan target yang tinggi. Fleksibilitas pasar tenaga kerja seringkali mengorbankan keamanan dan kesejahteraan pekerja.
RUU yang Tertunda dan Pekerja Digital yang Terlupakan
Salah satu isu yang mendesak adalah pengesahan RUU PPRT. RUU ini telah berlarut-larut selama lebih dari dua dekade, padahal pekerja rumah tangga merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Ketiadaan regulasi yang jelas membuat mereka bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Selain itu, RUU Perampasan Aset juga penting untuk segera disahkan. Regulasi ini dapat menjadi instrumen penting untuk memulihkan kerugian negara akibat korupsi, yang mana dana tersebut seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan jaminan sosial dan program perlindungan buruh.
Di era digitalisasi, muncul pula tantangan baru. Banyak anak muda bekerja sebagai mitra aplikasi, pengemudi daring, content creator, atau desainer digital. Mereka bekerja dengan sistem algoritma, tanpa kontrak tetap, jaminan pensiun, atau hak cuti. Negara fokus pada pengembangan infrastruktur digital, namun melupakan perlindungan kerja bagi para pekerja digital ini.
Menanti Tindakan Nyata
Kehadiran Presiden di tengah-tengah buruh menjadi momen penting. Namun, yang lebih penting adalah tindakan nyata yang mengikuti. Apakah akan ada perubahan kebijakan yang signifikan? Apakah sistem pengupahan akan direvisi agar lebih manusiawi? Apakah RUU yang tertunda akan segera disahkan? Apakah negara akan benar-benar bertanggung jawab terhadap buruh, atau hanya sekadar menyapa dan berlalu?
Buruh tidak membutuhkan seremoni mewah. Mereka menginginkan negara bekerja untuk mereka. Membenahi sistem pengupahan, mengesahkan RUU PPRT dan Perampasan Aset, serta memberikan perlindungan hukum bagi pekerja digital adalah langkah-langkah konkret yang dapat diambil pemerintah.
Di atas segalanya, negara harus menjamin hak berserikat dan melindungi suara buruh. Praktik pemberangusan serikat harus dihentikan. Tanpa keberanian untuk berpihak pada buruh, Hari Buruh hanya akan menjadi panggung tanpa arah, ramai namun hampa.
Sejarah akan mencatat peringatan Hari Buruh tahun ini. Namun, sejarah tidak hanya mencatat siapa yang hadir, tetapi juga siapa yang mengambil keputusan. Jika pidato tidak diikuti tindakan nyata, maka 1 Mei hanya akan menjadi rutinitas belaka.