Mantan Panitera PN Jaktim Divonis Empat Tahun Penjara dalam Kasus Suap Eksekusi Lahan
Mantan Panitera PN Jaktim Divonis Empat Tahun Penjara dalam Kasus Suap Eksekusi Lahan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Rina Pertiwi, mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim). Vonis tersebut dibacakan pada Senin, 3 Maret 2025, terkait keterlibatannya dalam kasus suap yang menjerat perusahaan BUMN dalam proses eksekusi lahan. Selain pidana penjara, Rina juga dihukum membayar denda sebesar Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Majelis hakim yang diketuai oleh Eko Aryanto menyatakan Rina terbukti bersalah melanggar Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Tipikor junto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Dalam pertimbangannya, hakim memperhitungkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan. Perbuatan Rina dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, dan yang lebih penting, Rina tidak mengakui kesalahannya. Sebagai hal yang meringankan, hakim menilai Rina bersikap sopan selama persidangan. Vonis yang dijatuhkan ini sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang sebelumnya menuntut Rina dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Putusan ini mengakhiri rangkaian proses hukum yang telah berjalan cukup panjang, dari tahap penyidikan hingga persidangan.
Kronologi Kasus Suap Eksekusi Lahan
Kasus ini bermula dari sengketa perdata lahan di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur. Ahli waris pemilik lahan yang dikuasai sebuah BUMN menunjuk Ali Sopyan sebagai kuasa hukum mereka. Setelah melalui proses hukum hingga Peninjauan Kembali (PK), perusahaan BUMN tersebut diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 244.604.172.000 (Rp 244 miliar). Ali Sopyan kemudian meminta bantuan Johanes dan Sareh Wiyono untuk mengurus proses eksekusi putusan PK tersebut.
Dalam upayanya melaksanakan eksekusi, Ali Sopyan menghubungi Rina Pertiwi, yang saat itu menjabat sebagai panitera di PN Jaktim. Rina diduga membantu mengurus permohonan eksekusi tersebut dengan menerima suap sebesar Rp 1 miliar. Jaksa penuntut umum dalam dakwaannya menyatakan bahwa Rina menerima bagian sebesar Rp 797 juta dari total suap tersebut, yang diterima melalui transfer dan tunai. Proses penerimaan suap ini terungkap melalui rangkaian penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Peran Rina Pertiwi dalam Kasus Eksekusi Lahan
Setelah menerima permohonan eksekusi dari Ali Sopyan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PN Jaktim, Rina membuat resume surat permohonan tersebut. Resume tersebut menyatakan bahwa karena termohon eksekusi adalah BUMN, maka sesuai UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, penyitaan aset negara tidak dapat dilakukan. Namun, fakta yang terungkap menunjukkan bahwa Rina justru tetap memproses eksekusi dan menyita rekening perusahaan BUMN tersebut senilai Rp 244 miliar. Perbedaan antara isi resume yang dibuat Rina dan tindakan nyata yang dilakukannya menjadi poin penting dalam persidangan dan menjadi bukti kuat atas pelanggaran yang dilakukan oleh Rina Pertiwi.
Implikasi Putusan dan Langkah ke Depan
Putusan pengadilan ini memberikan efek jera bagi pelaku korupsi di lingkungan peradilan. Kasus ini juga menjadi sorotan publik dan menggarisbawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum. Ke depannya, diharapkan kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi seluruh aparat penegak hukum untuk senantiasa menjalankan tugas dan kewenangannya dengan menjunjung tinggi hukum dan etika profesi. Upaya pencegahan korupsi di lingkungan peradilan pun perlu terus ditingkatkan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan yang adil dan bersih.