Polemik Outsourcing: Janji Prabowo dan Implikasi bagi Pekerja Indonesia
markdown
Polemik Outsourcing: Janji Prabowo dan Implikasi bagi Pekerja Indonesia
Presiden terpilih Prabowo Subianto menyatakan niatnya untuk menghapus sistem outsourcing di Indonesia, sebuah langkah yang disambut baik oleh kalangan buruh namun menimbulkan pertanyaan terkait keberlanjutan investasi dan iklim usaha. Pernyataan ini disampaikan dalam momentum peringatan Hari Buruh Internasional (May Day), sebuah momen penting bagi refleksi hak-hak pekerja di seluruh dunia.
Prabowo menekankan pentingnya kehati-hatian dalam merealisasikan penghapusan outsourcing. Ia menyadari bahwa perubahan kebijakan yang drastis dapat berdampak negatif pada investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, tanpa investasi, lapangan kerja tidak akan tercipta, yang pada akhirnya merugikan para pekerja itu sendiri.
Apa Itu Outsourcing?
Secara sederhana, outsourcing adalah praktik bisnis di mana sebuah perusahaan menyerahkan sebagian pekerjaan atau fungsi bisnisnya kepada perusahaan lain (pihak ketiga). Dalam konteks ketenagakerjaan, ini berarti perusahaan mempekerjakan tenaga kerja melalui perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing), bukan mempekerjakan mereka secara langsung sebagai karyawan.
Praktik ini umum dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan pendukung atau non-inti, seperti:
- Jasa keamanan
- Kebersihan
- Katering
- Operator call center
Namun, batasannya menjadi kabur seiring waktu, terutama setelah adanya revisi Undang-Undang Cipta Kerja.
Sejarah dan Kontroversi Outsourcing di Indonesia
Legalisasi outsourcing di Indonesia dimulai pada era Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 2003. Undang-undang ini awalnya membatasi outsourcing hanya untuk pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan inti bisnis perusahaan. Tujuannya adalah untuk memberikan fleksibilitas kepada perusahaan sambil melindungi hak-hak pekerja.
Namun, dalam perkembangannya, praktik outsourcing menuai banyak kritik, terutama dari kalangan buruh. Mereka menganggap outsourcing sebagai bentuk eksploitasi dan pemiskinan struktural. Pekerja outsourcing seringkali memiliki status kerja yang tidak jelas, upah yang rendah, jaminan sosial yang minim, dan rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dampak Revisi UU Cipta Kerja
Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan pada tahun 2020 membawa perubahan signifikan terhadap aturan outsourcing. UU ini menghapus batasan jenis pekerjaan yang dapat di- outsourcing-kan, sehingga perusahaan dapat mengalihdayakan pekerjaan yang lebih beragam, termasuk yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan buruh terkait ketidakpastian status pekerjaan dan hilangnya jaminan hak-hak pekerja.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) turut memberikan perhatian terhadap isu outsourcing. Dalam uji materi UU Cipta Kerja, MK menilai bahwa perlu ada aturan yang lebih jelas mengenai jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan dalam outsourcing. MK meminta pemerintah untuk memperjelas aturan terkait outsourcing dalam peraturan perundang-undangan agar memberikan perlindungan hukum yang adil bagi pekerja.
Masa Depan Outsourcing di Indonesia
Janji Prabowo untuk menghapus outsourcing membuka babak baru dalam perdebatan mengenai sistem kerja ini di Indonesia. Pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak, yaitu melindungi hak-hak pekerja, menjaga iklim investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional menjadi salah satu langkah yang diharapkan dapat merumuskan skema transisi penghapusan outsourcing yang komprehensif dan berkelanjutan.