Ketegangan Perdagangan Global: Analis Minta Pelaku Pasar Indonesia Tenang Hadapi Kebijakan Tarif

Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump telah memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar dan masyarakat global. Langkah ini dipandang sebagai pemicu potensial perang dagang, dengan berbagai negara mitra AS memberikan respons beragam.

Arsjad Rasjid, tokoh bisnis terkemuka di Indonesia, menyoroti bahwa kebijakan tarif ini berpotensi mengubah tatanan ekonomi dunia. Respons dari China, yang juga memberlakukan tarif balasan terhadap AS, semakin memperkeruh situasi.

"Tidak ada yang bisa memastikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam perseteruan ini, tetapi yang pasti, dunia terguncang dengan tindakan Trump ini," ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, menekankan bahwa telah terjadi perubahan signifikan dalam tatanan global.

Rasjid berpendapat bahwa strategi Trump ini didorong oleh motif bisnis untuk memaksimalkan keuntungan. Penerapan tarif telah menyebabkan gejolak di pasar keuangan, mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

"Pasar pasti akan bergejolak. Nilai tukar Rupiah melemah, dan IHSG terpengaruh. Harga emas melonjak," jelasnya. Kondisi ini disebabkan oleh kepanikan investor yang mencari instrumen investasi yang dianggap paling aman, yang pada akhirnya dapat menghambat perputaran ekonomi.

Menurut Rasjid, penting untuk menjaga optimisme agar ekonomi tetap bergerak dan tumbuh. Ia melihat peluang di tengah gejolak ini, terutama dalam relokasi rantai pasok global. Indonesia memiliki potensi untuk mengisi kekosongan tersebut karena memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang memadai.

"Indonesia tidak hanya mampu meningkatkan atau menjadi bagian dari rantai pasok, tetapi juga memiliki sumber daya alam dan manusia yang berbeda dari negara lain," tambahnya.

Ia mengakui bahwa Vietnam memiliki keunggulan dalam fasilitas manufaktur. Namun, Indonesia memiliki pasar domestik yang besar dan ketergantungan yang lebih kecil pada pasar luar negeri. Ekspor hanya menyumbang 25% dari aktivitas ekonomi, sementara 75% sisanya berputar di dalam negeri.

"Inilah yang menyelamatkan kita pada tahun 1998 dan dari dampak krisis global tahun 2008. Kekuatan pasar domestik kita menjadi faktor penting," jelasnya.

Rasjid menekankan pentingnya melihat situasi ini dari berbagai sudut pandang. Selain memperhatikan kebijakan tarif AS dan potensi perang dagang, penting untuk mengenali kekuatan dan potensi yang dimiliki Indonesia. Ia mengimbau agar pelaku pasar tidak terlalu panik, meskipun ia mengakui bahwa kepanikan dapat memicu gejolak pasar. Ia juga menyampaikan bahwa tarif yang dikenakan kepada Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Vietnam, sehingga Indonesia masih memiliki daya saing.

  • Peluang di tengah Tantangan: Indonesia berpotensi menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global yang sedang mencari lokasi baru.
  • Kekuatan Pasar Domestik: Ketergantungan yang rendah pada ekspor membuat ekonomi Indonesia lebih stabil dalam menghadapi gejolak global.
  • Imbauan untuk Tenang: Pelaku pasar diminta untuk tidak panik dan melihat potensi yang dimiliki Indonesia.