Prabowo Subianto Hadiri Perayaan Hari Buruh: Negara Berkomitmen pada Kesejahteraan Pekerja

Momentum Kebersamaan: Presiden Prabowo dan Komitmen Negara pada Hari Buruh

Perayaan Hari Buruh Internasional, atau Mayday, bukan sekadar tradisi tahunan. Lebih dari itu, Mayday adalah sebuah momentum penting yang merefleksikan perjuangan panjang kaum pekerja dalam menuntut hak-hak dasar mereka: jam kerja yang manusiawi, upah yang adil, dan perlakuan yang setara di tempat kerja.

Peringatan Mayday tahun ini menjadi istimewa dengan kehadiran Presiden Prabowo Subianto di tengah-tengah para pekerja di Monas, Jakarta. Kehadiran ini bukan hanya sekadar simbolis, melainkan sebuah pesan kuat tentang komitmen negara untuk berdiri bersama dan mendukung kaum pekerja.

Akar Sejarah dan Cita-Cita Kemerdekaan

Mayday memiliki akar sejarah yang erat kaitannya dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, negara memiliki tujuan mulia untuk melindungi seluruh bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kehadiran Presiden di tengah-tengah para buruh adalah penegasan kembali komitmen terhadap ideologi Pancasila, yang menjunjung tinggi persatuan dan keadilan sosial.

Politik Simbolik dan Legitimasi

Dari sudut pandang politik, kehadiran Presiden dalam peringatan Hari Buruh merupakan sebuah langkah strategis untuk membangun legitimasi. Dalam teori Weberian, seorang pemimpin meraih legitimasi melalui tiga cara: tradisional, legal-rasional, dan karismatik. Kehadiran Presiden Prabowo memadukan dua elemen ini: legal-rasional sebagai kepala negara, dan karismatik sebagai pemimpin yang hadir langsung untuk mendengarkan suara rakyat pekerja. Pendekatan soft power ini menekankan kedekatan dan kepercayaan, bukan hanya kebijakan yang dirumuskan di balik meja.

Kebijakan Konkret untuk Kesejahteraan Buruh

Mayday tahun ini juga diwarnai dengan pengumuman pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan Satgas Perlindungan PHK, sebagai respons terhadap ancaman pemutusan hubungan kerja di tengah ketidakpastian ekonomi global. Selain itu, pemerintah juga membuka ruang bagi semua pihak untuk meninjau kembali peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak adil bagi kaum buruh, seperti UU Ciptaker. Inisiatif lain termasuk penyusunan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan ratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan untuk melindungi pekerja di laut.

Langkah-langkah ini mencerminkan kesadaran bahwa perlindungan terhadap buruh bukan hanya soal keadilan, tetapi juga strategi untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Dalam konteks ini, pekerja bukan hanya objek kebijakan, tetapi juga bagian integral dari ketahanan bangsa dalam menghadapi guncangan ekonomi. Ini adalah wujud nyata dari ekonomi solidaritas, di mana negara hadir untuk menyeimbangkan kebutuhan pasar dan keberlanjutan hidup rakyat pekerja.

Transformasi Gerakan Sosial

Peringatan Mayday kali ini juga didukung oleh kelompok Cipayung yang menamakan diri Roundtable 98 Cipayung. Kehadiran kelompok ini menandai transformasi penting dalam hubungan antara negara dan gerakan sosial. Para mantan aktivis mahasiswa 1998, yang dulunya dikenal sebagai oposisi terhadap rezim otoriter, kini berperan sebagai jembatan dialog antara buruh dan negara. Pergeseran ini mencerminkan kematangan demokrasi Indonesia, di mana perjuangan tetap hidup, tetapi saluran aspirasinya semakin terbuka dan solutif.

Hubungan yang terjalin antara buruh dan negara saat ini dapat dilihat sebagai bentuk neo-corporatism, di mana negara berusaha mengintegrasikan aspirasi kelompok buruh ke dalam sistem kebijakan formal. Ini adalah strategi untuk menjaga stabilitas sosial jangka panjang dengan mengurangi potensi radikalisasi dari luar sistem. Namun, keberhasilan model ini hanya mungkin tercapai jika partisipasi buruh tidak disubordinasikan, melainkan dijadikan mitra setara dalam menyusun arah kebijakan nasional.

Visi Prabowo tentang Keadilan Sosial

Kehadiran Presiden Prabowo dalam peringatan Mayday 2025 bukan hanya gestur simbolik, melainkan perwujudan dari visi besar yang telah lama ia gagas, sebagaimana tertuang dalam buku Paradoks Indonesia. Dalam buku tersebut, Prabowo menyoroti ketimpangan yang semakin melebar, kekayaan yang terkonsentrasi di segelintir elite, dan rakyat yang semakin terpinggirkan. Ia mengkritik sistem ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan tanpa pemerataan, serta pembangunan yang tidak berpihak kepada mayoritas rakyat pekerja.

Dalam konteks ini, gagasan neo-corporatism yang dijalankan secara partisipatif sejalan dengan upaya membalik paradoks tersebut: membangun tata kelola ekonomi dan politik yang lebih inklusif dan berpihak kepada kaum yang selama ini terpinggirkan dari proses perumusan kebijakan.

Mayday menjadi panggung nyata di mana Presiden Prabowo menjawab paradoks tersebut dengan hadir secara fisik dan politik di tengah rakyat pekerja. Ini menunjukkan bahwa ia tidak menciptakan jarak antara negara dan rakyat, tetapi justru menegaskan kepemimpinan yang hadir dalam denyut aspirasi rakyat kecil.

Negara Hadir untuk Kesejahteraan Buruh

Selama ini, kritik terhadap negara adalah absennya keberpihakan nyata terhadap kelas buruh dalam kebijakan dan simbol. Negara kerap hadir sebagai regulator yang netral, bahkan seringkali memihak pada kekuatan pasar. Namun, dengan menyatakan komitmen membentuk Satgas Perlindungan PHK, serta menyerukan kolaborasi lintas sektor menghadapi krisis ekonomi global, Prabowo membalik logika netralitas itu menjadi keberpihakan aktif. Inilah wujud negara yang hadir, sebagaimana sering digaungkan, tetapi kini benar-benar diwujudkan.

Lebih jauh, langkah ini mencerminkan strategi developmental state dalam versi khas Indonesia, di mana negara berperan aktif dalam merancang keseimbangan antara produktivitas ekonomi dan keadilan sosial. Prabowo tidak sekadar mengadopsi pendekatan korporatis yang teknokratis, tetapi meletakkannya dalam konteks keberpihakan nasional: bahwa pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika buruh bukan sekadar objek pembangunan, melainkan aktor utama di dalamnya.

Dalam semangat itu, Mayday 2025 menjadi batu pijakan baru untuk merumuskan kontrak sosial yang lebih adil antara negara dan kelas pekerja. Pada akhirnya, Mayday 2025 bukan hanya pesta tahunan para buruh. Ia adalah panggung simbolik di mana negara dan rakyat pekerja membangun kembali kepercayaan, menyatukan tekad, dan menghidupkan kembali janji konstitusi: mewujudkan Indonesia yang adil, sejahtera, dan bermartabat. Kehadiran Presiden Prabowo di tengah massa buruh adalah babak baru dalam narasi hubungan negara dan rakyat pekerja. Simbol adalah awal dari komitmen. Dan kita semua bertanggung jawab untuk menjaganya tetap hidup dan bermakna.