Program Pembinaan Siswa Bermasalah Berbasis Militer Tuai Kritik: Potensi Stigma dan Dampak Psikologis Mengintai
Program Pembinaan Siswa Bermasalah Berbasis Militer Tuai Kritik: Potensi Stigma dan Dampak Psikologis Mengintai
Inisiatif pembinaan karakter bagi siswa yang dianggap bermasalah melalui pendekatan militer di Kabupaten Purwakarta menuai sorotan tajam dari pengamat pendidikan. Doni Koesoema, seorang pengamat pendidikan, menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait potensi dampak psikologis jangka panjang yang mungkin dialami oleh siswa setelah mengikuti program tersebut.
Doni Koesoema berpendapat bahwa pendekatan berbasis militer ini berpotensi menciptakan stigma negatif terhadap siswa yang bersangkutan. Sekembalinya mereka ke lingkungan sekolah dan masyarakat, mereka berisiko dicap sebagai anak bermasalah, yang pada akhirnya dapat mengganggu relasi sosial dan menyebabkan pengucilan. Lebih lanjut, tanpa pendampingan psikologis yang memadai, program ini justru dapat memperburuk kondisi psikologis siswa, alih-alih memberikan efek jera yang diharapkan.
Kritik juga ditujukan pada asumsi yang mendasari program ini, yaitu anggapan bahwa anak-anak tersebut sudah tidak dapat dibina oleh orang tua atau pihak sekolah. Doni menegaskan bahwa penyerahan tanggung jawab pembinaan anak kepada pihak militer merupakan pendekatan pendidikan yang keliru. Ia menekankan perbedaan antara tindak kriminal, yang merupakan ranah hukum, dan kenakalan remaja seperti membolos atau membuat onar, yang seharusnya menjadi fokus penanganan oleh pihak sekolah dan orang tua.
"Sekolah dan orang tua harusnya berperan, bukan langsung menyerahkan ke barak," tegas Doni, menekankan pentingnya peran aktif keluarga dan institusi pendidikan dalam menangani masalah perilaku siswa.
Selain itu, Doni menyoroti pentingnya mempertimbangkan hak anak untuk berpendapat dalam program pembinaan ini. Persetujuan orang tua tidak secara otomatis berarti persetujuan anak. Jika anak tidak diberi ruang untuk menyampaikan pendapat atau dipaksa mengikuti program, hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran hak anak. Doni menekankan perlunya keterlibatan psikolog independen untuk menilai kondisi setiap anak secara objektif sebelum mengikuti program.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyatakan bahwa program ini tidak melibatkan unsur paksaan dan orang tua secara sukarela menyerahkan anak-anak mereka kepada Dinas Pendidikan untuk mengikuti pembinaan di barak militer. Program ini menyasar siswa yang dianggap sulit dikendalikan baik di sekolah maupun di rumah, dengan harapan dapat mengembangkan disiplin, tanggung jawab, dan akhlak yang baik melalui pendekatan militer. Dedi menegaskan bahwa orang tua yang merasa tidak mampu lagi membina anak-anak mereka menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada pemerintah daerah dan unsur TNI-Polri.
Namun, kekhawatiran mengenai dampak psikologis dan stigma yang mungkin timbul akibat program ini tetap menjadi perhatian utama. Perlunya evaluasi yang komprehensif dan pendampingan psikologis bagi siswa setelah mengikuti program menjadi krusial untuk memastikan bahwa tujuan pembinaan karakter tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan psikologis anak.
Program ini sebelumnya melibatkan puluhan siswa SMP yang mengikuti barisan di Markas Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9, di Purwakarta. Pemerintah daerah menyediakan kendaraan untuk mengangkut para siswa ke lokasi pembinaan.