Polemik Pengiriman Siswa Bermasalah ke Barak Militer: Pendekatan Instan atau Solusi Jangka Panjang?

Kontroversi Pengiriman Siswa ke Barak Militer: Efektifkah Mendisiplinkan dengan Cara Keras?

Rencana Pemerintah Daerah Jawa Barat untuk mengirimkan siswa yang dikategorikan bermasalah ke barak militer telah memicu perdebatan sengit di kalangan pendidik, psikolog, dan masyarakat luas. Kebijakan ini, yang rencananya akan diimplementasikan secara bertahap mulai Mei 2025, menyasar siswa yang terlibat dalam perilaku seperti penyalahgunaan alkohol, kecanduan game, perkelahian, dan tindakan indisipliner lainnya.

Program yang diperkirakan berlangsung antara enam bulan hingga satu tahun ini, bertujuan untuk menanamkan kedisiplinan dan mengubah perilaku negatif siswa melalui pelatihan militer. Namun, pendekatan ini menuai kritik dari berbagai pihak yang meragukan efektivitasnya dan mengkhawatirkan dampaknya terhadap kesehatan mental dan emosional siswa.

Menggali Akar Permasalahan, Bukan Sekadar Menghukum

Psikolog anak dan remaja, menekankan pentingnya memahami akar permasalahan di balik perilaku menyimpang siswa sebelum menjatuhkan hukuman atau menerapkan program intervensi. Menurutnya, penggunaan istilah "nakal" bersifat subjektif dan kurang konstruktif dalam konteks psikologis. Lebih tepatnya, perilaku tersebut dapat diartikan sebagai respons maladaptif terhadap berbagai faktor internal dan eksternal yang memengaruhi perkembangan siswa.

Faktor-faktor Penyebab Perilaku Menyimpang pada Siswa:

  • Pengaruh Teman Sebaya: Di usia remaja, pengaruh kelompok teman sebaya sangat kuat. Siswa mungkin melakukan pelanggaran aturan untuk mendapatkan pengakuan, penerimaan, atau sekadar mengikuti tren di kalangan teman-temannya. Dalam beberapa kasus, perilaku negatif bahkan dianggap keren atau bergengsi di mata teman-teman, sehingga semakin memperkuat dorongan untuk melakukannya.

  • Masalah Keluarga dan Luka Emosional: Perilaku menyimpang juga bisa menjadi manifestasi dari masalah keluarga yang lebih dalam, seperti konflik orang tua, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, atau kurangnya perhatian dan kasih sayang. Siswa yang mengalami trauma atau luka emosional mungkin mencari validasi dan pelarian melalui tindakan yang merugikan diri sendiri atau orang lain.

  • Kurangnya Pemahaman tentang Aturan: Tidak semua siswa memahami sepenuhnya alasan di balik aturan yang berlaku. Mereka mungkin melanggar aturan tanpa menyadari konsekuensi atau dampaknya bagi diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, penting bagi pihak sekolah dan keluarga untuk menjelaskan konteks aturan dan memberikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya mematuhi aturan.

  • Gangguan Perilaku yang Membutuhkan Penanganan Klinis: Dalam beberapa kasus, perilaku bermasalah pada siswa dapat disebabkan oleh gangguan psikologis yang lebih serius, seperti gangguan perilaku, gangguan emosi, atau masalah regulasi diri. Siswa dengan kondisi ini membutuhkan penanganan khusus dari profesional kesehatan mental untuk mengatasi masalah yang mendasarinya.

Pendekatan Militeristik: Solusi atau Bumerang?

Mengingat kompleksitas faktor-faktor yang memengaruhi perilaku siswa, pendekatan militeristik yang menekankan kedisiplinan dan hukuman fisik dikhawatirkan dapat menjadi kontraproduktif. Alih-alih menyelesaikan masalah, pendekatan ini justru dapat memperburuk kondisi psikologis siswa, meningkatkan risiko trauma, dan menghambat perkembangan sosial dan emosional mereka.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik dalam menangani siswa bermasalah. Pendekatan ini harus melibatkan identifikasi akar permasalahan, pemberian dukungan psikologis, pengembangan keterampilan sosial dan emosional, serta kolaborasi antara pihak sekolah, keluarga, dan profesional kesehatan mental. Dengan demikian, diharapkan siswa dapat mengatasi masalah mereka, mengembangkan potensi diri, dan menjadi anggota masyarakat yang produktif dan bertanggung jawab.