Integritas Pendidikan Merosot: Pakar UGM Soroti Perjokian UTBK dan Budaya Menyontek yang Mengakar
Praktik kecurangan dalam dunia pendidikan Indonesia, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi, menjadi sorotan tajam. Kasus perjokian yang terungkap dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) hanyalah puncak gunung es dari permasalahan integritas yang lebih dalam.
Panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) telah mendiskualifikasi 50 peserta yang terbukti menggunakan jasa joki dan menyerahkan para pelaku ke pihak kepolisian. Temuan ini sejalan dengan survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengungkap fakta mencengangkan, yakni 78% siswa di sekolah dan 98% mahasiswa di kampus melakukan tindak kecurangan seperti menyontek.
Kondisi ini berdampak signifikan pada Indeks Integritas Pendidikan (IIP) Indonesia, yang mengalami penurunan menjadi 69,50 pada tahun 2024. Dede Puji Setiono, PhD, seorang pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai penurunan IIP ini sebagai sinyal peringatan bagi pemerintah. Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia masih berkutat antara idealisme dan realitas pragmatis, di mana nilai kejujuran tergerus oleh ambisi untuk mencapai hasil instan.
"Ini bukan sekadar masalah angka, melainkan pertanda bahwa nilai-nilai integritas masih kalah saing dengan budaya 'yang penting kelar'," ujar Dede. Ia menekankan pentingnya revitalisasi sistem pendidikan sebagai respons terhadap permasalahan ini.
Program Integritas Berbasis Bukti
Dede mengusulkan agar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mengembangkan program integritas berbasis bukti. Program ini dapat mencakup:
- Penyisipan modul anti-korupsi dalam kurikulum pelatihan guru.
- Penerapan sistem penghargaan yang transparan bagi sekolah.
Ia juga mengkritik slogan "kejujuran itu mahal" yang menurutnya justru menanamkan anggapan bahwa kejujuran adalah sesuatu yang naif. Sistem ujian yang berorientasi pada hafalan alih-alih pemikiran kritis juga memperparah situasi ini. Dede mencontohkan sistem pendidikan di Finlandia yang mengedepankan kurikulum fleksibel dan minim ujian standar.
Kebijakan yang Lebih Radikal untuk Perguruan Tinggi
Untuk mengatasi praktik nepotisme dan kecurangan di lingkungan kampus, Dede menyerukan penerapan kebijakan yang lebih radikal. Ia menyoroti kurangnya ketegasan dalam kebijakan di banyak perguruan tinggi, yang membuka celah bagi praktik gratifikasi.
Beberapa solusi yang ia tawarkan antara lain:
- Memublikasikan rincian anggaran secara real time.
- Memanfaatkan jasa auditor independen dalam pengadaan barang dan jasa.
- Menerapkan prinsip blind selection dalam rekrutmen vendor dan staf, di mana identitas perusahaan dan pemilik disembunyikan selama proses penilaian proposal.
"Dengan begitu, 'koneksi' tak lagi jadi senjata utama," tegas Dede. Ia juga menekankan pentingnya pemberian sanksi tegas bagi rektor atau kepala sekolah yang terbukti melakukan nepotisme, termasuk pencabutan jabatan.
Terakhir, Dede mengajak seluruh pelajar untuk membiasakan diri dengan kejujuran mulai dari hal-hal kecil, seperti berani menegur teman yang menyontek atau dosen yang menolak hadiah dari mahasiswa.
"Untuk mencapainya, kita perlu revolusi mindset. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi pembentuk karakter," pungkasnya. Ia menekankan perlunya perbaikan kurikulum, pengurangan jam hafalan, penambahan proyek sosial yang melatih empati dan kejujuran, serta menjadikan integritas sebagai investasi, bukan beban.