Mengkritisi Tren Pendidikan Militeristik pada Anak: Empati Sebagai Kunci Utama Pembentukan Karakter

Pendidikan Karakter Anak: Lebih dari Sekadar Disiplin Militer

Akhir-akhir ini, masyarakat diresahkan dengan fenomena memasukkan anak-anak "bermasalah" ke dalam lingkungan militer. Alih-alih mencari solusi yang lebih manusiawi, banyak orang tua yang terpikat dengan janji disiplin instan dan perubahan perilaku yang cepat. Video-video yang beredar di media sosial memperlihatkan anak-anak digunduli, diteriaki, dan dipaksa melakukan latihan fisik berat, semua demi konten yang viral sesaat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah pendekatan militeristik ini benar-benar efektif dalam membentuk karakter anak?

Alih-alih fokus pada kesehatan mental dan kesejahteraan emosional anak, masyarakat seringkali lebih terpaku pada kepatuhan dan ketertiban eksternal. Kita menginginkan anak-anak yang penurut, cepat tanggap, dan selalu mengikuti perintah. Kita seolah lupa bahwa jiwa anak-anak bukanlah logam yang bisa ditempa dengan kekerasan, melainkan benih yang membutuhkan tanah subur berupa kasih sayang, kepercayaan, dan pengertian.

Tekanan yang berlebihan justru dapat melumpuhkan potensi anak. Pembentukan karakter yang sesungguhnya adalah tentang membantu anak mengenali diri sendiri, memahami batasan, dan tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab bukan karena takut hukuman, tetapi karena kesadaran diri yang mendalam. Pendidikan yang efektif berlandaskan pada empati, dialog, dan kepercayaan, bukan dominasi, instruksi satu arah, dan ancaman.

Alternatif Pendidikan yang Lebih Humanis

Pendidikan ala militer memiliki tempatnya sendiri, terutama dalam lingkungan militer, kepolisian, atau lembaga paramiliter di mana kepatuhan mutlak diperlukan. Namun, menerapkannya pada anak-anak, terutama yang memiliki luka sosial atau psikologis, berisiko memperdalam trauma mereka. Disiplin yang dibangun atas dasar ketakutan hanya menghasilkan kepatuhan sesaat, bukan kebijaksanaan batin yang sejati.

Untungnya, ada alternatif yang lebih lembut, manusiawi, dan terbukti efektif. Misalnya, menempatkan anak-anak di asrama religius di mana ketertiban tumbuh melalui rutinitas yang dijalani dengan kesadaran dan cinta. Di lembaga pendidikan Katolik, misalnya, disiplin bukan sekadar kewajiban, tetapi bagian dari perjalanan spiritual. Anak-anak dibangunkan dengan sapaan hangat, diajak menyusun jadwal harian, dan dilatih untuk menulis jurnal pribadi untuk merefleksikan pengalaman dan mengenali emosi mereka.

Yang terpenting, mereka diperlakukan dengan kepercayaan dan rasa hormat, bukan sebagai ancaman yang harus dikendalikan. Mereka didengarkan, dibimbing dengan kasih sayang, dan diberi kesempatan untuk berkembang. Di lingkungan seperti ini, disiplin dan kelembutan saling melengkapi untuk membentuk karakter yang kuat dan empatik.

Belajar dari Pesantren: Disiplin dengan Kasih

Bagi sebagian masyarakat, kekhawatiran muncul terkait potensi perubahan keyakinan agama. Namun, pendidikan di lembaga Katolik tidak bertujuan untuk mengubah keyakinan, melainkan untuk menyentuh jiwa anak-anak yang terluka. Sejarah mencatat banyak tokoh bangsa, termasuk dari kalangan Muslim, yang mengenyam pendidikan di lembaga Katolik dan tetap teguh pada iman mereka.

Indonesia juga memiliki model pendidikan Islam yang kuat dalam disiplin dan pembentukan karakter, yaitu pesantren. Dengan sistem hidup komunal yang ketat, rutinitas teratur, dan tanggung jawab sosial yang ditanamkan sejak dini, pesantren menanamkan disiplin, rasa hormat, dan pengertian terhadap proses pembelajaran tanpa caci maki atau kekerasan. Yang ada adalah keteladanan, penghormatan, dan cinta terhadap pendidikan.

Baik pendidikan di pesantren maupun lembaga Katolik menolak kekerasan sebagai metode dan meletakkan cinta serta kepercayaan sebagai fondasi utama dalam pembentukan karakter.

Memahami Kebutuhan Anak yang "Nakal"

Anak-anak yang sering dilabeli "nakal" seringkali adalah anak-anak yang terluka. Luka-luka ini membutuhkan sentuhan yang sabar, penuh kasih sayang, dan pengertian untuk bisa sembuh. Ketaatan yang dipaksakan dengan ketakutan tidak akan menghasilkan karakter sejati.

Kita harus berhenti bertanya "Bagaimana membuat mereka tunduk?" dan mulai bertanya "Apa yang mereka perlukan untuk merasa layak disayangi kembali?". Perilaku "nakal" seringkali merupakan cerminan dari kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi. Mereka memerlukan dukungan, pemahaman, dan kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka tanpa rasa takut dihukum atau dicemooh.

Sudah saatnya kita berhenti menjadikan mereka sebagai tontonan atau objek yang hanya dinilai dari kesalahan mereka dan mulai memberikan mereka ruang untuk berkembang tanpa tuntutan kesempurnaan. Lingkungan pendidikan harus fokus pada pengertian, bimbingan konstruktif, dan kesempatan untuk belajar dan berproses tanpa tekanan berlebihan.

Dengan memberikan kesempatan untuk mengungkapkan perasaan, dipahami, dan dibimbing dengan kasih dan perhatian, kita menciptakan iklim yang positif di mana mereka merasa dihargai dan diterima. Pendekatan semacam ini tidak hanya membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi juga memperkuat karakter mereka dan membimbing mereka untuk menghadapi tantangan hidup dengan lebih matang dan empatik. Perubahan sejati tidak datang dari ketakutan, tetapi dari kasih sayang dan dukungan yang tulus.