Polemik WorldID: Pembekuan Operasi dan Keamanan Data Biometrik Jadi Sorotan
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengambil langkah tegas dengan membekukan sementara izin operasional layanan Worldcoin dan WorldID. Keputusan ini menyusul viralnya laporan mengenai praktik perekaman data retina dengan iming-iming imbalan finansial sebesar Rp 800.000 di wilayah Bekasi, yang memicu perdebatan luas di media sosial.
WorldID, sebuah sistem identifikasi digital yang menggunakan pemindaian iris mata untuk memverifikasi identitas unik individu, menjadi pusat perhatian. Teknologi ini bertujuan untuk menciptakan sistem "satu orang, satu ID," namun implementasinya di Indonesia menimbulkan kekhawatiran terkait privasi dan keamanan data.
Menanggapi pembekuan tersebut, Tools for Humanity, perusahaan di balik Worldcoin dan WorldID yang didirikan oleh Sam Altman, menyatakan telah menghentikan sementara layanan verifikasi di Indonesia secara sukarela. Pihak perusahaan juga tengah berupaya menjalin komunikasi dengan pemerintah Indonesia untuk mengklarifikasi persyaratan perizinan yang diperlukan.
"Kami berharap dapat terus melanjutkan dialog konstruktif dan suportif yang telah terjalin selama setahun terakhir dengan pihak pemerintah terkait. Jika terdapat kekurangan atau kesalahpahaman terkait perizinan kami, kami tentu akan menindaklanjutinya," demikian pernyataan resmi dari Tools for Humanity.
Di tengah kekhawatiran yang muncul, pengamat keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, menilai bahwa ketakutan berlebihan terhadap penggunaan WorldID kurang beralasan. Menurutnya, data iris mata yang dikumpulkan disimpan secara terenkripsi dan tersebar di beberapa server yang berbeda, sehingga meminimalkan risiko kebocoran data.
Alfons bahkan berpendapat bahwa data kependudukan seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK), atau data pengenalan wajah (face recognition) justru lebih rentan terhadap penyalahgunaan. Ia menjelaskan bahwa meskipun WorldID menyimpan data iris, data tersebut dienkripsi dan dipecah menjadi beberapa bagian yang disimpan di server yang berbeda.
"Jadi risiko tertinggi, andaikan ada orang bisa menggabungkan data dari empat server yang berbeda, andaikan ada yang mampu pecahkan kunci enkripsi itu, yang bocor ya data iris -- yang mana juga tidak bakal terjadi," ujarnya.
Lebih lanjut, Alfons menyarankan agar pemerintah Indonesia memanfaatkan kemajuan teknologi seperti WorldID, namun dengan tetap mengedepankan regulasi yang ketat. Ia mengusulkan agar pemerintah meminta WorldID untuk menyimpan data penduduk Indonesia di server yang berlokasi di dalam negeri.
"Tidak perlu di luar. Kan pemerintah lemah dalam pengelolaan sekuriti, jadi kenapa tidak manfaatkan kelebihannya WorldID yang memiliki kemampuan mengelola data? Lalu manfaatkan one person one id," imbuhnya.
Kasus WorldID ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan data pribadi. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap teknologi baru yang masuk ke Indonesia mematuhi standar keamanan dan privasi yang berlaku, serta memberikan manfaat yang jelas bagi masyarakat.