Maraknya Aksi Ormas Melampaui Batas: Urgensi Revisi UU Ormas Mencuat

Aksi Ormas Melampaui Batas: Ancaman Bagi Kepastian Hukum dan Iklim Investasi

Belakangan ini, publik diresahkan dengan maraknya aksi organisasi masyarakat (Ormas) yang dinilai melampaui batas kewenangan. Salah satu contohnya adalah viralnya video penyegelan pabrik PT Bumi Asri Pasaman (BAP) di Barito Selatan, Kalimantan Tengah oleh Ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kalimantan Tengah. Tindakan ini menuai kecaman karena dianggap mencerminkan perilaku yang seolah-olah menggantikan peran aparat negara.

Spanduk besar yang dipasang dengan tulisan "Pabrik dan gudang ini dihentikan operasionalnya oleh DPD GRIB Jaya Kalteng" mengindikasikan klaim kewenangan yang tidak dimiliki oleh Ormas. Tindakan ini menggarisbawahi permasalahan serius terkait peran dan batasan Ormas di Indonesia. Negara memiliki mekanisme yang jelas dalam penegakan hukum, dan tindakan penyegelan seharusnya hanya dilakukan oleh instansi yang berwenang berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.

Implikasi Negatif Bagi Investasi dan Perekonomian Nasional

Kondisi ini tentu menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi para pelaku usaha. Bayangkan jika setiap saat pengusaha atau UMKM harus menghadapi potensi intervensi dari Ormas yang bertindak sewenang-wenang, menghentikan aktivitas ekonomi hanya berdasarkan persepsi atau kepentingan subjektif. Ketidakpastian hukum semacam ini akan menghambat investasi dan menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif. Investor akan berpikir ulang sebelum menanamkan modalnya jika merasa tidak ada jaminan keamanan dan kepastian hukum.

Fenomena ini juga mencoreng citra Indonesia di mata investor asing. Bagaimana mungkin kita menarik investasi jika keamanan dan kelangsungan usaha terancam oleh tindakan Ormas yang tidak terkontrol? Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Sejarah dan Peran Ormas di Indonesia

Sejarah mencatat bahwa Ormas memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka menjadi wadah artikulasi kepentingan rakyat, penggerak kesadaran kolektif, dan agen perubahan sosial. Ormas-ormas di masa lalu mampu membangkitkan semangat kebangsaan, menyatukan keberagaman, dan memperjuangkan nasib bangsa melalui berbagai cara, mulai dari pendidikan, budaya, hingga penguatan moral.

Namun, pasca reformasi, euforia kebebasan seringkali disalahartikan. Regulasi yang longgar tanpa pengawasan yang memadai menyebabkan munculnya Ormas-Ormas yang kebablasan, bahkan cenderung anarkis. Ironisnya, negara yang dulu represif terhadap Ormas kini tampak kesulitan menertibkan Ormas-Ormas yang bertindak di luar batas.

Realitas di Lapangan: Ormas Berperilaku Seperti Aparat dan Mengganggu Investasi

Di lapangan, kita sering melihat Ormas yang berusaha tampil seperti aparat negara, lengkap dengan seragam, atribut, dan bahkan kendaraan yang menyerupai TNI/Polri. Fenomena ini menimbulkan kebingungan dan keresahan di masyarakat. Selain itu, ada pula kasus-kasus di mana Ormas mengganggu pembangunan proyek strategis dengan dalih memperjuangkan aspirasi warga, padahal tindakan tersebut justru merugikan kepentingan nasional.

Contohnya, gangguan terhadap pembangunan pabrik mobil listrik BYD di Subang. Aksi-aksi seperti ini bukan hanya sekadar protes, tetapi merupakan bentuk intervensi liar yang menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja. Tak hanya di sektor industri, "premanisme berkedok Ormas" juga merajalela di berbagai daerah, menargetkan pengusaha hotel, toko-toko kecil, dan bahkan masyarakat biasa.

Urgensi Revisi UU Ormas: Menata Ulang dan Mengarahkan Ormas Pada Rel yang Benar

Melihat kondisi ini, wacana revisi Undang-Undang Ormas kembali mencuat. Revisi ini diharapkan dapat memperkuat sistem pengawasan, termasuk pengelolaan dan audit keuangan Ormas. Menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, langkah ini perlu diambil untuk merespons tindakan Ormas yang bertindak seperti preman dan mengganggu kepercayaan investor.

Revisi UU Ormas harus menjadi momentum untuk menyeleksi Ormas sejak tahap pendirian, sehingga tidak ada lagi Ormas yang meresahkan masyarakat. Namun, pengetatan aturan harus tetap menjamin kebebasan berserikat dan berorganisasi sebagai hak konstitusional warga negara. Semangat revisi UU Ormas bukan untuk mempreteli eksistensi Ormas, melainkan untuk mengatur tata kelola yang lebih tegas dan akuntabel.

Negara Harus Hadir: Menjamin Kesejahteraan dan Menindak Tegas Tindakan Kriminal

Revisi UU Ormas juga perlu membahas soal percepatan pembubaran Ormas bermasalah. Keputusan pembubaran Ormas tersebut dapat digugat ke PTUN. Kewenangan eksekutif untuk membubarkan Ormas harus diatur secara tegas dan rinci, misalnya, Ormas yang bertentangan dengan konstitusi atau Pancasila, mengganggu ketertiban masyarakat, atau menghambat investasi dan perekonomian nasional.

Namun, pendekatan represif saja tidak cukup. Negara perlu mengidentifikasi akar sosiologis dan ekonomis dari munculnya jaringan kriminalitas yang melibatkan Ormas. Ketimpangan ekonomi, kemiskinan struktural, dan minimnya akses pada pekerjaan yang layak menjadi faktor pendorong munculnya Ormas-Ormas bermasalah.

Negara tidak boleh berkompromi dengan penggunaan kekerasan ilegal, baik oleh aparat negara maupun aktor non-negara. Ormas bermasalah adalah bentuk lain dari kriminalitas yang bersumber dari ketimpangan dan kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan. Negara wajib hadir sebagai pelindung seluruh rakyatnya, bukan hanya sebagai penjaga status quo.

Ormas harus menjadi pilar, bukan palu. Menjadi mitra, bukan ancaman.