Dominasi Sektor Informal di Pasar Kerja Indonesia Meningkat, PHK Ancam Kaum Muda
Sektor Informal Mendominasi Pasar Kerja Indonesia: Tantangan dan Kerentanan Pekerja Muda
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan signifikan dalam proporsi pekerja informal di Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa pada Februari 2025, sebanyak 59,40% dari total penduduk yang bekerja berada di sektor informal. Angka ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yaitu Februari 2024 (59,17%) dan Agustus 2024 (57,95%).
Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa mayoritas dari 145,77 juta pekerja di Indonesia tergolong dalam kategori informal. Pekerja informal mencakup mereka yang bekerja secara mandiri, dibantu oleh buruh tidak tetap, pekerja keluarga, atau pekerja lepas. Peningkatan pekerja informal ini terutama terlihat pada sektor pertanian padi, konstruksi bangunan tempat tinggal, dan pekerjaan rumah tangga.
Dari sisi demografi, peningkatan jumlah pekerja informal juga dipicu oleh partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, khususnya dalam usaha kecil seperti makanan dan minuman. Fenomena ini mengindikasikan adanya perubahan struktur dalam pasar kerja, di mana sektor informal semakin memegang peranan penting dalam menyerap tenaga kerja.
Gelombang PHK dan Kerentanan Pekerja Muda
Di tengah meningkatnya proporsi pekerja informal, Indonesia juga menghadapi tantangan berupa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, mengungkapkan bahwa sejak Januari hingga 23 April 2025, sebanyak 24.036 pekerja telah terkena PHK. Angka ini mencerminkan sepertiga dari total PHK yang terjadi sepanjang tahun 2024. Sektor industri pengolahan menjadi penyumbang PHK terbesar, dengan 16.801 kasus. Selain itu, PHK juga banyak terjadi di sektor perdagangan dan jasa lainnya.
Beberapa faktor penyebab utama PHK antara lain kerugian usaha, relokasi perusahaan, upaya efisiensi, transformasi bisnis, dan perselisihan industrial. Kondisi ini menuntut adanya respons yang cepat dan efektif dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk meminimalkan dampak negatif terhadap pekerja yang terkena PHK.
Salah satu isu krusial yang perlu mendapat perhatian khusus adalah tingginya angka pengangguran di kalangan generasi muda. Kelompok usia 19-24 tahun dan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi kontributor utama dalam angka pengangguran nasional. Data menunjukkan bahwa lulusan SMK memiliki proporsi pengangguran yang lebih besar dibandingkan dengan lulusan dari jenjang pendidikan lainnya.
Upaya Pemerintah dan Tantangan yang Ada
Untuk mengatasi masalah pengangguran di kalangan muda, pemerintah telah meluncurkan program School to Work Transition. Program ini fokus pada pelatihan keterampilan digital, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), keterampilan interpersonal (soft skill), dan kewirausahaan. Pelatihan diselenggarakan melalui ratusan Balai Latihan Kerja (BLK) dan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) swasta.
BPS mencatat bahwa jumlah pengangguran pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, atau 4,76% dari total angkatan kerja. Angka ini meningkat sebanyak 83.450 orang dibandingkan dengan Februari 2024. Peningkatan pengangguran ini terutama disebabkan oleh lulusan baru dan ibu rumah tangga yang kembali memasuki pasar kerja. Menteri Ketenagakerjaan berencana untuk berdiskusi dengan BPS guna membandingkan dan menganalisis data ketenagakerjaan secara lebih mendalam.
Kondisi pasar kerja Indonesia saat ini menunjukkan adanya dinamika yang kompleks. Di satu sisi, sektor informal terus mendominasi dan menjadi penopang bagi banyak pekerja. Namun, di sisi lain, gelombang PHK dan tingginya angka pengangguran di kalangan muda menjadi tantangan yang perlu segera diatasi. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu bekerja sama untuk menciptakan lapangan kerja yang layak, meningkatkan keterampilan tenaga kerja, dan memberikan perlindungan sosial bagi pekerja yang rentan.