Indonesia Rawan Kejatuhan Sampah Antariksa, Dua Insiden Libatkan Aset Soviet
Indonesia menjadi salah satu negara yang berpotensi terdampak jatuhnya satelit Kosmos 482 milik Uni Soviet, yang diperkirakan akan memasuki atmosfer Bumi dalam waktu dekat. Fenomena jatuhnya sampah antariksa di wilayah Indonesia bukanlah hal baru, melainkan kejadian yang berulang.
Profesor Thomas Djamaluddin, seorang ahli Astronomi dan Astrofisika dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan bahwa rerata setiap dua hingga tiga hari, sisa-sisa satelit, bagian roket, atau limbah antariksa lainnya jatuh ke Bumi. Keberadaan objek-objek ini terdeteksi melalui jaringan radar yang canggih.
"Pengamatan dilakukan dengan menganalisis orbit dan menggunakan seluruh kamera langit (sky camera) yang dimiliki oleh BRIN, ITERA, serta berbagai komunitas pengamat langit," jelas Profesor Djamaluddin.
Sejarah mencatat setidaknya enam insiden jatuhnya sampah antariksa di berbagai wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, dua di antaranya melibatkan sisa-sisa aset antariksa milik Soviet:
- 1981, Gorontalo: Tabung bahan bakar roket milik Soviet.
- 1988, Lampung: Tabung bahan bakar roket milik Soviet.
- 2003, Bengkulu: Pecahan tabung roket milik China.
- 2016, Sumenep, Jawa Timur: Tabung bahan bakar milik Amerika Serikat.
- 2017, Agam, Sumatra Barat: Dua keping tabung roket dan pecahan roket milik China.
- 2022, Sanggau, Kalimantan Barat: Pecahan roket milik China.
Profesor Djamaluddin mengakui bahwa saat ini belum ada mekanisme yang efektif untuk mencegah jatuhnya sampah antariksa ke Bumi atau meminimalkan dampaknya. Prediksi titik jatuh sampah antariksa juga masih menjadi tantangan.
"Kita hanya bisa memantau, tetapi pemantauan itu lebih berfungsi untuk mengidentifikasi pemilik sampah antariksa setelah jatuh. Upaya antisipasi jatuhnya masih belum memungkinkan," ungkapnya.
Sebagai contoh, pecahan tabung roket China yang jatuh di Bengkulu pada tahun 2003 sebelumnya diprediksi akan jatuh di Jazirah Arab. Hal serupa terjadi pada jatuhnya tabung bahan bakar milik AS di Sumenep, Jawa Timur pada tahun 2016, yang awalnya diperkirakan akan jatuh di Samudra Hindia.
"Jadi, prediksi yang akurat masih sulit dilakukan. Paling tidak, kita perlu mewaspadai jalur lintasannya. Biasanya, peneliti astronomi di BRIN akan mengidentifikasi pemilik sampah antariksa dan potensi bahayanya," imbuhnya.
Sejauh ini, belum ada laporan mengenai korban jiwa atau kerusakan properti akibat jatuhan benda-benda antariksa. Namun, kewaspadaan tetap diperlukan. Jaringan pengawas satelit, radar militer, dan badan antariksa nasional dari berbagai negara, termasuk Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN, terus memantau objek-objek yang berada di orbit Bumi.
"Jika ada sampah antariksa, kita akan analisis jenisnya, apakah mengandung bahan nuklir atau tidak. Jika tidak mengandung nuklir, kita akan periksa potensi kandungan zat kimia berbahaya. Pemantauan ini dilakukan secara berkelanjutan," pungkasnya.