Sengketa Lahan di Kawasan Hutan: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tegaskan Potensi Pembatalan Sertifikat Hak Milik di MK

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi arena perdebatan sengit terkait sengketa lahan di dalam kawasan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam sidang yang digelar, menegaskan bahwa sertifikat hak milik (SHM) yang terbit di atas kawasan hutan berpotensi dibatalkan. Penegasan ini disampaikan terkait dengan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang diajukan oleh sejumlah pihak, termasuk korporasi dan individu.

Perkara ini bermula dari keberatan para pemohon atas Pasal 110A ayat (1) UU P3H yang mengatur kewajiban pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) bagi pihak yang memanfaatkan kawasan hutan. Para pemohon berpendapat bahwa ketentuan ini, jika tidak dimaknai sebagai pengecualian bagi pemilik hak atas tanah, melanggar hak konstitusional mereka terkait perlindungan harta benda, hak milik pribadi, dan kepastian hukum yang adil. Mereka berdalih bahwa SHM yang mereka miliki merupakan keputusan tata usaha negara yang sah dan seharusnya dihormati, kecuali ada putusan pengadilan yang membatalkannya.

Kementerian LHK melalui Dirjen Penegakan Hukum, Dwi Januanto Nugroho, menolak mentah-mentah dalil para pemohon. Dwi menyatakan bahwa tuntutan ganti rugi atas penetapan kawasan hutan di atas tanah yang dikuasai pemohon tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menekankan bahwa penetapan kawasan hutan dilakukan jauh sebelum penerbitan hak atas tanah tersebut. Dengan kata lain, negara telah menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan hutan sebelum individu atau korporasi mengklaim kepemilikan lahan di atasnya.

Lebih lanjut, Dwi menjelaskan bahwa larangan penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) di kawasan hutan juga berlaku untuk bentuk hak atas tanah lainnya, termasuk SHM. Hal ini selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 yang secara tegas menyatakan bahwa hak atas tanah tidak dapat diberikan di kawasan hutan. Implikasinya, sertifikat hak atas tanah yang berada di dalam kawasan hutan secara yuridis dapat dibatalkan.

Kementerian LHK juga menyoroti potensi dampak negatif jika permohonan para penggugat dikabulkan oleh MK. Dwi menyebutkan bahwa hal tersebut dapat mengganggu kepastian hukum, kelangsungan investasi, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang selama ini diperoleh dari sektor kehutanan. Ia mengungkapkan bahwa pelaksanaan UU P3H telah menghasilkan PNBP yang signifikan, mencapai ratusan miliar rupiah dari PSDH, DR, dan denda administratif.

Berikut poin-poin penting yang menjadi dasar argumen Kementerian LHK di MK:

  • Penetapan kawasan hutan dilakukan sebelum penerbitan hak atas tanah.
  • Larangan penerbitan HGU di kawasan hutan berlaku juga untuk SHM.
  • PP Nomor 16 Tahun 2004 melarang pemberian hak atas tanah di kawasan hutan.
  • Pembatalan SHM dimungkinkan secara yuridis jika berada di kawasan hutan.
  • Mengabulkan gugatan akan mengganggu kepastian hukum, investasi, dan PNBP.

Dengan argumentasi ini, Kementerian LHK meminta MK untuk menolak permohonan para penggugat dan mempertahankan keberlakuan UU P3H demi menjaga kelestarian hutan dan penerimaan negara.