Ancaman Sanksi Sekunder AS: Mungkinkah Ekonomi Rusia Melemah?
Prospek Ekonomi Rusia di Tengah Bayang-Bayang Sanksi Internasional
Lebih dari tiga tahun setelah dimulainya konflik, ketahanan ekonomi Rusia terus menjadi topik perdebatan. Meskipun menghadapi tekanan sanksi internasional, Rusia berhasil mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengejutkan, yakni 4,1% pada tahun 2023 dan 4,3% pada tahun 2024. Pertumbuhan ini sebagian besar didorong oleh pergeseran menuju ekonomi perang, namun kini diperkirakan akan kehilangan momentum.
Sejumlah ekonom memprediksi perlambatan yang signifikan. Proyeksi menunjukkan pertumbuhan ekonomi Rusia akan melambat menjadi sekitar 2%. Institut Kiel untuk Ekonomi Dunia bahkan lebih pesimistis, memperkirakan PDB Rusia hanya akan tumbuh 1,5% pada tahun 2025 dan merosot menjadi 0,8% pada tahun 2026. Bank Sentral Rusia sendiri telah mengantisipasi perlambatan ini dan mempertahankan proyeksi konservatif, yaitu pertumbuhan antara 1% dan 2% pada tahun 2025, serta hanya 0,5% hingga 1,5% pada tahun berikutnya. Lembaga ifo yang berbasis di München bahkan memperkirakan kontraksi ekonomi sebesar 0,8% pada tahun 2026.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekonomi Rusia
Suku bunga acuan yang tinggi, saat ini berada di angka 21%, menjadi salah satu beban utama bagi ekonomi Rusia. Tingkat suku bunga ini menghambat investasi swasta, dengan sektor otomotif dan teknik mesin menjadi yang paling terpukul, diikuti oleh konstruksi dan baja. Sementara itu, penguatan nilai tukar rubel terhadap dolar AS sebesar 40% sejak awal tahun telah mengejutkan para analis. Penguatan ini sebagian dikaitkan dengan perubahan sikap pemerintahan AS terhadap Rusia.
Euforia Pasar dan Ancaman Sanksi
Namun, euforia pasar mulai mereda setelah AS memperketat sanksi terhadap Gazprombank, sebuah bank negara yang memproses pembayaran gas dan mendanai proyek-proyek militer. Sanksi ini mengakibatkan penurunan nilai tukar rubel dan penurunan tajam di pasar saham, terutama di sektor keuangan dan energi. Pemerintah Rusia kini mengamati dengan cermat kemungkinan perubahan kebijakan AS terkait sanksi.
Sanksi Sekunder dan Dampaknya
Ancaman sanksi sekunder, yang menargetkan negara ketiga, perusahaan, atau individu yang tetap menjalin hubungan dagang dengan Rusia, menjadi perhatian utama. Target utama dari sanksi ini kemungkinan adalah Cina dan India, yang merupakan mitra dagang utama Rusia. Cina menyumbang sekitar 40% impor dan 30% ekspor Rusia pada tahun 2024, dan banyak barang penting untuk industri militer disalurkan melalui Cina dan Hong Kong. India juga berperan penting dalam menopang ekonomi Rusia dengan menyerap sebagian besar ekspor minyaknya.
Turki, sebagai anggota NATO dan bagian dari serikat pabean Uni Eropa, juga menjadi sorotan karena menolak ikut serta dalam sanksi terhadap Rusia.
Upaya Menghindari Sanksi
Beberapa bank Rusia telah mengembangkan sistem pembayaran khusus yang disebut "The China Track" untuk memfasilitasi transaksi dengan Cina melalui jaringan yang dirancang untuk menghindari deteksi regulator Barat. Sistem ini telah digunakan oleh beberapa bank Rusia yang terkena sanksi dan sejauh ini belum mengalami gangguan besar.
Ketua kelompok lobi bisnis RSPP, Alexander Shokhin, bahkan menyatakan bahwa mitra Cina mungkin tidak lagi takut pada sanksi sekunder yang akan diterapkan AS.
Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Pertumbuhan ekonomi Rusia diprediksi melambat.
- Suku bunga tinggi dan sanksi menjadi beban utama.
- Ancaman sanksi sekunder menargetkan mitra dagang utama.
- Upaya menghindari sanksi melalui sistem pembayaran alternatif.