Sidang Dugaan Gratifikasi Eks Gubernur Bengkulu Ungkap Tekanan Pilkada Terhadap ASN
Sidang dugaan gratifikasi dan pemerasan yang menjerat mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, memasuki babak baru dengan menghadirkan sejumlah saksi. Dalam persidangan yang digelar pada Rabu (7/5/2025), terungkap pengakuan mengejutkan dari para Aparatur Sipil Negara (ASN) terkait tekanan yang mereka rasakan selama pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Persidangan yang dipimpin oleh hakim Faisol tersebut menghadirkan tujuh saksi kunci, termasuk Meri Sasdi (Kepala Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Bengkulu), Hariyadi (Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah/BKAD), Karmawanto (Kadis Koperasi), Ika Doni Ikhwan, Nandar Munadi (Asisten Umum Sekda), Sisardi (Staf Ahli), dan Zahirman (Staf Ahli Setda). Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar para saksi dengan berbagai pertanyaan, menggali informasi mengenai pihak yang meminta uang, tujuan penggunaan dana tersebut, hingga perasaan para saksi setelah memberikan uang.
Salah satu saksi, Nandar Munadi, Asisten Umum Sekda Provinsi Bengkulu, mengakui bahwa ia menyerahkan sejumlah uang sebagai bentuk loyalitas kepada pimpinan. Namun, ia menyatakan penyesalannya atas tindakan tersebut karena menyadari bahwa hal itu melanggar aturan yang berlaku. Nandar mengungkapkan bahwa keputusannya untuk membantu Rohidin didasari oleh pengalaman pahit yang dialaminya saat Pilkada Kabupaten Kaur 2020. Saat itu, sebagai Sekda Pemda Kaur, ia tidak memberikan dukungan kepada bupati terpilih, yang berujung pada pencopotan jabatannya dan kepindahannya ke Pemprov Bengkulu.
"Ini dilakukan berdasarkan pengalaman saat saya menjabat Sekda Kaur. Saat saya tidak membantu bupati terpilih, maka saya dinonjobkan karena pilkada ini momok bagi ASN," ungkap Nandar di hadapan majelis hakim. Pengakuan serupa juga disampaikan oleh saksi Sisardi, seorang Staf Ahli. Ia mengaku terpaksa menyerahkan uang senilai Rp 30 juta kepada Nandar, yang bertindak sebagai koordinator pemenangan di Kabupaten Kaur, karena trauma akibat pengalamannya di masa lalu. Sisardi menceritakan bahwa ia pernah dinonjobkan sebagai staf ahli karena dianggap tidak optimal dalam membantu istri Rohidin saat mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI.
"Saat istri Pak Rohidin mencalonkan diri sebagai DPR RI, saya dianggap tidak optimal, maka saya dinonjobkan sebagai staf ahli. Maka dalam pilkada gubernur, saya ikut setor Rp 30 juta," jelasnya. Menanggapi tudingan yang dilontarkan oleh Sisardi, Rohidin Mersyah membantah bahwa pencopotan jabatan Sisardi disebabkan oleh kinerja yang tidak memuaskan. Ia mengklaim bahwa keputusan tersebut didasarkan pada hasil analisis jabatan yang menunjukkan kinerja Sisardi yang kurang memadai.
Rohidin juga menampik keterlibatannya dalam penunjukan Sisardi sebagai Pjs Bupati Bengkulu Selatan. Ia bahkan merasa heran karena Sisardi tiba-tiba diangkat menjadi Pjs Bupati, padahal ia tidak pernah mengajukan nama Sisardi kepada Mendagri. "Sisardi dan Meri Sasdi tidak pernah saya usulkan jadi Pjs Bupati. Namun, entah mengapa mereka tiba-tiba menjadi Pjs Bupati," ungkap Rohidin. Ia menambahkan bahwa ia mengetahui bahwa saat menjabat sebagai Pjs Bupati, Sisardi dan Meri Sasdi mengadakan pertemuan dengan kandidat Pilgub lainnya. Persidangan ini membuka tabir mengenai kompleksitas dinamika politik lokal dan tekanan yang dihadapi oleh ASN dalam pusaran Pilkada. Pengakuan para saksi memberikan gambaran tentang bagaimana kepentingan politik dapat mempengaruhi karier dan kinerja para abdi negara.